Menyicil Kebohongan

Oleh
Basri Amin

Atas nama “pembangunan” dan kemajuan bangsa, fakta-fakta pemborosan dan ketumpang-tindihan tidak terpapar terang di mata masyarakat. Emosi negatif makin rentan meletus di banyak sektor, antara lain di bidang perburuhan, kesehatan, dan industri berbasis sumberdaya alam (perkebunan, kehutanan, atau pertambangan) adalah contoh paling tegas bahwa kepekaan ekonomi di negeri ini belum sepenuhnya mengakar pada nasib rakyat. Pesan inilah yang saya tangkap ketika membaca laporan investigasi majalah Tempo, Untung-Buntung Pandemi dan Korporasi Api, edisi September 2020.

Kuat terkesan bahwa kebohongan dan manipulasi selalu ada dalam setiap etape pembangunan kita. Pernyataan seperti ini bukan basa-basi!. Selalu saja ada pihak-pihak yang lihai berkilah dan membela diri. Itu bisa dimengerti, terutama bagi mereka yang beroleh untung bersusun-susun dari pembangunan. Bukan rahasia lagi, tak sedikit orang yang lihai menggunakan kewenangan dan menyisip kepentingan sepihaknya dalam pembangunan.

Saat ini, mereka yang rentan demikian mudah jatuh berulang-ulang dalam kubangan kemiskinan dan ketertinggalan. Mereka terhempas ke luar arena kemajuan secara ber-generasi. Aspirasi menjadi hilang karena roda harapan terus diputar oleh kekuasaan, dengan taktik yang sangat tipikal, yakni: “menyicil” pemenuhan hak-hak dasar.

Pada tingkat moral, gejala kepentingan yang distortif jelas sangat salah. Itulah sebabnya kepentingan kelompok dan jangka pendek, makin diperkecil dan dihilangkan ruang-nya di negara-negara modern. Kepentingan bersama, demikian juga dengan sumberdaya publik (public goods) adalah yang utama. Negara, dengan otonomi, aparat, dan regulasi yang dimilikinya, membayar aparatus-nya untuk mewujudkan “netralitas” pelayanan dan pemanfaatan setiap sumberdaya yang ada untuk publik, bukan untuk kelompok dan pertimbangan partisan.

Di Indonesia, deteksi terhadap kesenjangan yang menganga jarang muncul dari negara. Karena, negara selalu cenderung “sepihak” dalam membangun pengertian-pengertian tertentu tentang kemajuan. Logika positif, bahkan terkadang terlalu menggebu-gebu, yang dilontarkan oleh negara, dalam perjalanannya mengalami banyak belokan. Itulah yang ditunjukkan oleh republik ini selama puluhan tahun terakhir. Lagi-lagi, kita bisa baca contohnya dalam Tempo edisi Oktober-November 2020.

Kenyataan sehari-hari tak pernah diniatkan sebagai rujukan pembangunan. Gagasan terlalu mendikte, tapi tidak dengan motif yang otentik. Gagasan muncul bersilang-silangan hanya untuk memenuhi hasrat sepihak dari kalangan atas, sebagian oleh kelas menengah yang kreatif mengais peluang-peluang jangka pendek, secara dominan sebagai “pemburu rente” dalam pasar (kebijakan dan wacana) pembangunan.

Kelas menengah –-yakni mereka yang relatif terdidik dan merasa mapan di profesi yang digelutinya—adalah pelaku yang sangat tampak dalam sirkuit pembangunan sebuah bangsa. Meski demikian, kelas menengah tidak se-pasif yang kita bayangkan, karena sebagian di antara mereka adalah sekaligus sebagai “pemain yang lincah” bolak-balik mengurusi kenyamanan kelas mereka sendiri, tepat di saat-saat mereka berperan sebagai “dinamo” yang mahal bagi pergulatan kekuasaan di sektor ekonomi. Merekalah yang amat kentara memanfaatkan beragam jalur informal dan ruang negosiasi dengan kekuasaan.

Perangkap gagasan atas nama kemajuan bersama menyebar di banyak titik. Di sektor lingkungan hidup adalah yang paling nyata. Degradasi lingkungan kita yang semakin serius adalah indikasi paling terang dari perangkap gagasan “kemajuan” yang eksploitatif itu. Faktanya, tertanam pikiran dominan –-yang seringkali dengan super optimis— dalam pembangunan kita. Kekuasaan berlomba-lomba mengelola banyak istilah dan percobaan yang menyilaukan nalar orang banyak. Nyaris tak ada dialog dan pandangan alternatif. Yang dikedepankan adalah desakan publikasi dan sirkulasi “pujian” yang dililit oleh klaim demi klaim, piagam-piagam penghargaan, dan piala-piala yang rutin dan elitis.

Bahasa kita menegaskan aroma perayaan-perayaan jangka pendek yang riuh. Negeri kita menjadi “serba ramai”. Pembangunan kita dikepung oleh banyak “acara” dan perayaan. Tak heran kalau di banyak wilayah makin kerajinan membuat festival, expo, dst, tapi diam-diam yang sesungguhnya kita rayakan adalah “tepuk-tepuk tangan”.

Di banyak acara yang berjudul “festival budaya”, bungkusan-bungkusan kebudayaan lebih mengambil tempat dan itulah yang terus dicoba dikata-katai sebagai “kebudayaan”. Padahal, isinya sama sekali tidak menggugah daya cipta atau kreativitas masyarakat kita dalam jangka panjang. Tak ada nilai fundamental yang bersuara nyaring; tak ada gugatan identitas yang memandu siasat kolektif kita di abad ini.

Kebudayaan adalah strategi (Van Peursen, 1985). Sebagai fondasi, kebudayaan dibangun berdasarkan daya cipta manusia (Soedjatmoko, 1983.). Dengan demikian, tidak ada kebudayaan sebuah bangsa atau masyarakat yang sepenuhnya “solid-utuh” dan siap berpengaruh seratus persen. Sejatinya, akan selalu tersedia ruang terbuka untuk di-isi oleh penciptaan, solusi dan kreativitas; ini adalah sebuah dinamisme manusia dalam mencipta dan mengolah sesuatu, baik melalui kapasitas dirinya sendiri, maupun sebagai bentuk-bentuk penyikapannya kepada dunia sekitarnya yang terus berubah.

Pencapaian material selalu memaparkan batas-batas. Termasuk di dalamnya berupa konflik dan penurunan mutu kemanusiaan kita. Harapan kita adalah bahwa pencapaian material hendaknya memfasilitasi pencapaian yang lebih bermakna dan yang lebih mendasar, yakni “pembebasan” berdasarkan tingkat kemakmuran yang berkeadilan. Prinsip inilah yang harus menjadi kaidah. Hal ini bukanlah sebuah soal yang mengada-ada, atau sebagai nilai yang dipercakapkan hanya agar kelihatan memihak dan gagah secara normatif, tapi justru merupakan titik berangkat (visi dan aksi) dan sebagai titik kembali (refleksi) yang berkelanjutan.

Indonesia dibangun di atas fondasi sosial seperti ini. Sejak awal, jika ada pemikiran dan kegelisahan nurani yang paling besar oleh Pendiri Bangsa setelah prinsip dasar kebebasan/kemerdekaan, maka hal itu adalah prinsip “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Cendekiawan terpandang Indonesia, Soedjatmoko, menulis panjang lebar tentang “dimensi manusia” dalam pembangunan sejak 1950an. Sayang sekali, kaidah ini sepertinya tergerus makna-maknanya di atas panggung retorika kekuasaan dan sedemikian rupa melemah penghayatannya ketika pembangunan memasuki tema-tema yang amat teknis-teknokratis. Tepat ketika angka-angka statistik menjadi ukuran yang dominan. ***

Penulis adalah Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com

Comment