Batavia (di) Jakarta

Oleh :
Basri Amin

Sudah lama berkembang di benak publik negeri ini bahwa apa yang terjadi di Jakarta cenderung menjadi ukuran tentang Indonesia yang hendak kita gambarkan. Hal ini sejalan dengan logika bersama yang ditumbuhkan bahwa Jakarta sebagai “pusat” kekuasaan (pemerintahan) dan sebagai simpul (perekenomian) Indonesia. Sebelum kondisi ini terbentuk sedemikian rupa, kita juga terlanjur terbiasa menempatkan Jawa sebagai pusat kemajuan, sementara daerah-daerah di luarnya kita letakkan sebagai pinggiran yang “tergantung” padanya.

Indonesia terbentuk karena kesadaran bersama dalam menentukan pilihan “menjadi Indonesia”, dalam keadaan yang serba mejemuk. Termasuk dalam hal ini menyangkut ibu kota (kita) yang bernama Jakarta itu. Sebelum Jakarta diubah menjadi Batavia oleh Belanda tahun 1619 –-melalui tangan J.P.Coen–, wilayah ini tidak lebih berposisi sebagai pembayar upeti di Banten, tapi tak lama kemudian berubah menjadi pangkalan besar bagi perkapalan Kongsi Dagang Hindia Belanda (VOC). Sejak itu, Mataram tidak lagi menjadi simbol pusat politik di Jawa. Kekuasaan Jayakarta yang sekian lama di bawah pengaruh Banten kemudian dihancurkan Belanda, termasuk permukiman pribumi. Mereka datang dengan “konsep Belanda”.

Pada suatu masa, Batavia sangat dipuji. Penulis klasik bernama Valentijn tahun 1726 menyanjungnya karena “keindahan bangunannya, kanal-kanal yang teduh, jalan-jalan yang lurus, banyak pasar dan perdagangannya bergairah”. Sayang sekali, tak lama setelah itu, keadaan memburuk karena pencemaran air dan penyakit endemis. Serangan malaria mematikan warga Batavia dalam jumlah yang sangat memilukan. Itulah yang terjadi pada tahun 1733, tercatat lebih 85 ribu jiwa hilang karena malaria (Nas & Grijns, 2007; Van Der Brug, 2007). Pada masa ini, Batavia sejajar jumlah penduduknya dengan kota-kota besar di dunia, seperti Madrid, Roma dan Amsterdam. Batavia menjadi kota yang “mati karena Malaria”.

Ketika Batavia atau Jakarta mulai berkembang pesat, ribuan petani dan pekerja Cina merupakan tulang punggungnya. Ia menjadi kota pelabuhan besar (baca: kota bandar) dan dari sanalah kosmopolitanisme Jakarta terbentuk, dengan bebas dan kohesif. Pendudukanya, selain yang berlatar Jawa, Sunda, Betawi, juga terdiri dari Belanda, China, Arab, Bali, Makassar, dst. Masyarakat urban Batavia tumbuh sebagai “masyarakat plural yang berdasarkan ketidaksederajatan etnis dan agama, tetapi dalam batas-batas tata krama pada masa itu…”(Blusse, 2007:31).

Menurut Blusse, dalam percaturan yang cukup lama, Batavia berkembang dengan pengaturan kolonial melalui beragam cara (ritual kewargaan, cara berpakaian dan kewajiban menciptakan masyarakat majemuk). Dari sinilah bentuk-bentuk diplomasi berjalan intensif dan terkelola dengan kecermatan tinggi. Tapi goncangan-goncangan sosial tentulah setiap saat terjadi. Bagaimana pun, kelompok etnis sudah eksis sejak awal, terutama Betawi, China, Arab dan Belanda, dan pasti terdapat beragam persaingan dan bentuk-bentuk kerjasama atau kompromi. Di masa kolonial, pemerintah VOC bahkan menempatkan China sebagai warganya yang setia (Nas & Grijns, 2007).

Komunitas China adalah kelompok yang mempunyai jejak panjang dalam pertumbuhan Batavia sejak awal. Dalam jaringan perdagangan di Asia, bisa dikatakan bahwa hampir semua rantai perdagangan, buruh dan petani tak bisa lepas dari jaringan China. Tercatat misalnya, bagaimana sebuah surat diplomatik orang China kepada Gubernur jenderal di Batavia, dengan kata-kata yang unik: “Wahai Baginda Panguasa Pa, yang menjamin hukum dan ketertiban di silang perdagangan laksana as menyatukan semua jari-jari roda!” (Blusse, 1996 [1997]).

Tidak begitu sulit membayangkan bagaimana sejumlah kompromi dan pengaturan yang otoritatif terbentuk sebagai sebuah keharusan. Hanya melalui mekanisme itulah keragaman sosial tidak berubah menjadi prahara dan pada saat yang sama keseimbangan penghidupan bisa berjalan langgeng. Inilah perkara abadi bagi sebuah kota besar yang majemuk, dengan warisan penguasaan ruang, legitimasi sejarah dan jaringan politik yang luas.

Warisan kolonial seolah menegaskan karakter yang tunggal menyangkut kekuasaan. Dikatakan bahwa “kebesaran seorang penguasa diukur berdasarkan jumlah kapal yang merapat di bandarnya dan jumlah arak-arakan utusan yang berkerumun di gerbang istananya…”. Diktum seperti ini, rasa-rasanya masih dianut hingga kini oleh penguasa-penguasa kita. Kelas-kelas sosial dibentuk sedemikian riuh, ritual-ritual yang membagi manusia berdasarkan kasta-kasta posisi, penampakan (citra) uangnya dan asesori hidupnya sepertinya semakin terlembagakan. Di banyak situasi, kita memperlakukan orang berdasarkan kasta sosialnya.

Keseimbangan peran dan kepemimpinan yang kuat yang dilandasi oleh pengaturan yang ketat adalah “warisan positif” periode kolonial Batavia. Tak heran kalau sekian lama dikenal kepemimpinan berbasis komunitas, antara lain dengan sebutan Kapten Melayu, demikian juga dengan Kapten Arab, China, dll. Meski demikian, sudah tentu tetaplah terjadi konflik dan peristiwa-peristiwa yang bersifat adu-kekuatan. Ketika arus perdagangan di Asia berlangsung luas, komunitas China terkenal karena perannya sebagai “perantara dalam pergaulan diplomatik”. Mereka bahkan menulis banyak peristiwa dalam tarikh China Batavia, Kai Pa Li-tai shih-chi (Medhurst 1840).

Jakarta “belum selesai” hingga kini. Lihatlah bagaimana partikularitas etnis Betawi dalam lanskap megapolitan Jakarta; demikian juga dengan persepsi-persepsi yang terus berubah tentang Islam, Hadrami, Tionghoa, Batak, Jawa, dst. Padahal, gejala “percampuran” dan legitimasi yang mengurai peran-peran setiap kelompok dalam perjalanan sejarah Indonesia sudah memberi kesimpulan yang kuat atas keragaman itu.(*)

 

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;
Anggota Indonesia Social Justice Network (ISJN)
E-mail: basriamin@gmail.com

Comment