Gorontalopost.id – Saat koruptor lain mendapatkan pemberatan hukuman ketika melakukan kasasi seperti terpidana korupsi wisma atlet, Angelina Sondakh, politisi Gerindra yang juga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo justeru mendapatkan perlakuan istimewa dari Mahkamah Agung.
Terpidana korupsi penerima suap penetapan izin ekspor benih lobster itu diberi diskon hukuman menjadi 5 tahun penjara. Edhy sebelumnya divonis pidana 9 tahun penjara.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Edhy Prabowo dengan penjara selama 5 tahun dan pidana denda sebesar Rp400 juta dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan,” ujar Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Rabu (9/3).
Majelis hakim kasasi juga menghukum pencabutan hak politik Edhy selama 2 tahun. Itu akan terhitung sejak Edhy selesai menjalani masa pidana pokok.
Perkara ini diadili oleh ketua majelis Sofyan Sitompul dengan hakim anggota masing-masing Gazalba Saleh dan Sinintha Yuliansih Sibarani. Putusan diketok pada Senin, 7 Maret 2022.
Majelis hakim kasasi menilai Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak mempertimbangkan bahwa Edhy telah bekerja baik selama menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Edhy, sang koruptor penerima suap itu, menurut majelis hakim kasasi merupakan menteri berkinerja baik dengan memberi harapan besar kepada masyarakat khususnya nelayan.
“Dalam hal ini terdakwa mencabut Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 56/PERMEN-KP/2016 tanggal 23 Desember 2016 dan menggantinya dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor.
12/PERMEN-KP/2020 dengan tujuan yaitu adanya semangat untuk memanfaatkan benih lobster untuk kesejahteraan masyarakat,” ucap Andi.
“Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor. 12/PERMEN-KP/2020 tersebut eksportir disyaratkan untuk memperoleh Benih Bening Lobster dari nelayan kecil penangkap BBL sehingga jelas perbuatan terdakwa tersebut untuk menyejahterakan masyarakat khususnya nelayan kecil,” sambungnya.
Sebelumnya, hukuman Edhy di tingkat banding diperberat menjadi 9 tahun penjara dari semula 5 tahun penjara. Ia dinilai terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama terkait penetapan izin ekspor benih lobster.
Edhy juga dihukum membayar uang pengganti sebesar Rp9.687.447.219 dan US$77.000 dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan.
Lebih lanjut, majelis tingkat banding juga mencabut hak politik Edhy selama tiga tahun setelah yang bersangkutan selesai menjalani masa pidana pokok atau hukuman 9 tahun penjara.
Edhy dinilai terbukti menerima suap sebesar US$77.000 atau sekitar Rp1,12 miliar dan Rp24,62 miliar terkait proses persetujuan pemberian izin budi daya lobster dan izin ekspor Benih Bening Lobster (BBL) kepada para eksportir. Korupsi yang dilakukan Edhy ini terjadi saat negara sedang dihadapkan dengan Pandemi Covid-19, beberapa pihak bahkan mengusulkan agar dihukum mati.
LOGIKA HAKIM MA DIPERTANYAKAN
Keputusan hakim Mahkamah Agung mengurangi hukuman pidana penjara mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo, dari sembilan tahun menjadi lima tahun penjara mendapat sorotan dari berbagai pihak. Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel pun angkat bicara soal itu.
Menurut dia, korupsi menurunkan kepuasan kerja. Ketika kepuasan kerja turun, kinerja pun akan anjlok. Korupsi juga akan membawa organisasi ke situasi tidak efektif dan kurang produktif. Konsekuensinya sama, performa (kinerja) akan memburuk, baik performa individu maupun performa organisasi.
”Dari situ sulit dipahami, bagaimana logikanya bahwa seorang pejabat divonis bersalah karena melakukan korupsi namun pada saat yang sama disebut berkinerja baik?” tutur Reza.
Korupsi, lanjut dia, ketika dilakukan pejabat negara, sepatutnya diposisikan sebagai kejahatan yang menghapus segala catatan kebaikannya. Integritas selayaknya dijadikan sebagai elemen mutlak dalam penilaian kinerja.
Selama elemen itu belum terpenuhi, menurut Reza elemen-elemen lainnya tak lagi menentukan. ”Tidak tepat untuk mengaitkan kinerja baik organisasi dengan individu yang korupsi,” kata Reza.
Dia menjelaskan, perilaku koruptif justru menandakan bahwa individu bersangkutan memiliki komitmen rendah pada organisasi tempatnya bekerja. Dengan komitmennya yang rendah, bagaimana mungkin sepenuhnya berpikir dan bekerja untuk membawa kebaikan bagi lembaganya.
Dia menambahkan, kinerja baik kementerian sesungguhnya adalah hasil dari kerja para personel birokrasi kementerian itu. Bukan akibat atau kontribusi dari pejabat yang melakukan korupsi.
”Apa boleh buat, putusan hakim MA mengingatkan saya pada simpulan getir dari riset University of Sheffield. Bahwa, korupsi ternyata sudah menjadi cara jitu untuk menyiasati aturan main yang rumit,” ucap Reza.
”Korupsi membuat urusan menjadi lebih gampang diselesaikan, sehingga kinerja pun membaik. Jadi, memang ironis. Alih-alih merusak organisasi, korupsi justru meningkatkan kinerja,” tambah dia. (jp)
Comment