Ketuhanan dan Kemanusian Suatu Perspektif Neurosains

Oleh :
Taufiq Pasiak 

Tulisan ini adalah tanggapan dari orasi ilmiah yang disampaikan oleh Franz Magnis-Suseno SJ dengan topik“Agama, Kebangsaan dan Demokrasi: Nurcholish Madjid dan Kemanusiaan” dalam Nurcholish Madjid Memorial Lecture (NMML) VIII, di Aula Nurcholish Madjid, Universitas Paramadina, Jakarta, pada 31 oktober 2014. Ini adalah acara tahunan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina, tulisan ini sudah dibukukan oleh PUSAD Paramadina dengan beberapa penanggap lain dengan judul buku “Agama, Keterbukaan dan Demokrasi; Harapan dan Tantangan”, yang dieditori oleh Ihsan Al Fauzie (2015)

Saya sengaja mengutip kembali agar menerbitkan tulisan menjadi sebuah artikel ringkas supaya bisa dibaca oleh semua kalangan terutama pada kalagan kader HMI-KAHMI- mendiskuskan kembali gagasan-gagasan Cak Nur dengan perspektif yang berbeda dalam mewujudkan pemikiranya pada kehidupan berbangsa-bernegara hari ini.

*

Uraian Romo Franz Magnis-Suseno dalam orasi ilmiahnya, “Agama, demokrasi dan Kebangsaan”, memberikan suatu kesan bahwa sebagaimana dia bersetuju dengan almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur), agama hanya akan bernilai jika agama itu tidak mengabaikan kemanusiaan. Agama justru tampak sebagai sebuah jalan keluar positif hanya jika ia memberikan porsi penghormatan yang tinggi bagi kemanusiaan.

Jika diumpamakan bahwa agama adalah nucleus sebuah sel yang berisi sejumlah materi genetika manusia yang membentuk genotip manusia, maka kemanusiaan adalah fenotip-nya; sesuatu yang ditampilkan alias yang tampak dari luar dan bisa dilihat dengan mata telanjang. Meski genotip dan fenotip itu memiliki dimensi sendiri-sendiri, tetapi terdapat suatu hubungan sangat kuat di antara keduanya.

Perwujudan kemanusiaan dari agama antara lain berbentuk penghormatan atas Hak-Hak Asasi Manusia (HAM). HAM tidak saja menjadi asasi (dasar) bagi manusia. Lebih dari itu, HAM merupakan sebagian kemuliaan Tuhan yang diberikan pada manusia. Mereka yang tidak menghormati HAM, menurut Romo Magnis, tergolong mereka yang tidak menghormati Tuhan yang menciptakan manusia. HAM menjadi sangat penting terutama dalam kaitannya dengan demokrasi dan keadilan sosial.

Dengan demokrasi: karena demokrasi memberdayakan masyarakat, HAM membuat pemberdayaan itu nyata. Dengan keadilan sosial: karena keadilan sosial tidak tercipta dengan percaya pada kebaikan hati saja melainkan dengan memberdayakan rakyat, pemberdayaan itu tercapai dengan penghormatan atas HAM.

Fenotip kemanusiaan dari agama juga harus menampilkan penghormatan yang tinggi terhadap kemajemukan. penghormatan terhadap kemajemukan diwujudkan dengan sikap menolak setiap wajah keras, mengancam, membenci dan meremehkan mereka yang berbeda.

Saya percaya bahwa hubungan Tuhan dan manusia tidak semata-mata soal hubungan sosiologis atau paling jauh filosofis, sebagaimana diurai Romo Magnis (dengan mengacu pada ide Cak Nur) tentang kemestian kepercayaan pada Tuhan atau beragama yang wajib mewujud dalam bentuk kemanusian. Hubungan itu juga bersifat biologis, yang setidaknya tampak pada kenyataan bahwa mereka yang percaya pada Tuhan dan melakukan tindakan-tindakan kemanusian memiliki kesehatan mental yang lebih baik dari yang percaya tapi tidak melakukan kegiatan-kegiatan kemanusia atau malah merusak kemanusiaan itu sendiri.

Saya juga ingin menyatakan bahwa mewujudkan sisi kemanusiaan dari agama tidak bisa dilepaskan dari aspek- aspek internal diri manusia, seperti tipe kepribadian dan watak (trait) yang memengaruhi cara manusia memersepsi Tuhan (atau agama) yang dipercayainya. Karena itu, membicarakan sisi kemanusian dari agama tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pemahaman atas dunia internal manusia, yakni dunia persepsional.

Kemanusiaan juga mewajibkan pemahaman yang sungguh-sungguh tentang manusia. Teori-teori kepribadian menyatakan bahwa kepribadian dan watak manusia meski ditentukan secara genetika, tetapi sangat dipengaruhi oleh interaksi manusia dengan lingkungannya. Hubungan timbal balik manusia dan lingkungannya harus menjadi titik penting dalam memahami perwujudkan kemanusian dari agama.

Kita boleh saja memercayai Tuhan yang sama, mengikuti ajaran yang sama, tetapi kita belum tentu memiliki pemahaman mengenainya, alih-alih perwujudan kemanusiaan yang sama dari-nya. Cara seseorang mengimplementasikan nilai kemanusiaan seringkali merupakan hasil dari cara dia memandang lingkungannya. Sangat masuk akal jika penulis seperti Karen Amstrong, dalam karyanya Sejarah Tuhan (Mizan, 2001), menyadari bahwa Tuhan yang dipercaya manusia itu memiliki “sejarah” dan memiliki “masa depan”. “Sejarah” dan “masa depan” Tuhan nyatanya tidak sama sepanjang waktu. Tuhan “menyejarah” dalam setiap tapak jalan kehidupan manusia dan sangat bergantung pada aspek persepsional dan kondisional manusia.

Aspek persepsional dan kondisional inilah yang membuat agama seperti naik-turun dan penuh dinamika dalam perwujudan kemanusiaannya. Pikiran manusia menjadi variabel sangat penting dalam hal ini, sialnya, pikiran itu juga bisa dikondisikan oleh lingkungan.

Studi sejumlah ilmuwan otak tentang apa yang disebut neuroplastisitas otak menunjukkan bahwa otak pun secara mikrostruktur bisa berubah sebagai respon terhadap lingkungan. Orang yang sejak lahir mengalami kerusakan otak parietal kanan, yang berfungsi sebagai area bagi pemetaan ruang (spasial mapping), akan memindahkan tugas itu ke otak parietal kiri, yang sejatinya berfungsi untuk matematika. Demikian juga sebaliknya, dari sejumlah riset diketahui, seorang penderita yang kehilangan kemampuan bergerak—akibat tangannya diamputasi oleh pelbagai sebab akan menunjukkan penurunan kinerja dalam bagian yang mengurus pergerakan di otak.

Dari perspektif di atas kita sepatutnya meletakkan dengan tepat bagaimana posisi manusia di belantara lingkungannya di saat dia harus mewujudkan sisi kemanusiaan dari agama dan Tuhan yang diyakininya. Studi Gallup-Baylor (2006) perihal empat wujud Tuhan menurut persepsi orang Amerika; “Benevoent god” (more engaged, less judgmental), “Authoritative God” (more engaged, more judgmental), “Critical God” (less engaged, more judgmental), dan “Distant God” (less engaged, less judgmental), membuktikan bahwa dalam lingkungan yang sudah begitu terkondisi dengan baik pun masih saja ada orang yang memersepsi Tuhan sebagai figur yang “jauh”, suka menghukum dan menekan. Persepsi seperti ini kemudian melahirkan radikalisme sebagai “prajurit-prajurit Tuhan”. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman:

Aku berada pada sangkaan hamba-Ku, Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku pada dirinya maka Aku mengingatnya pada diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam suatu kaum, maka Aku mengingatnya dalam suatu kaum yang lebih baik darinya, dan jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal, maka Aku mendekat padanya satu hasta, jika ia mendekat pada-Ku satu hasta maka Aku mendekat padanya satu depa, jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan kaki, maka Aku akan datang kepadanya dengan berlari. (Hr Abu Hurairah, ditulis dalam kitab turmudzi nomor hadits 2310)

Terdapat suatu hubungan yang jelas antara persepsi seseorang tentang Tuhan dan pengalaman relijius yang mereka rasakan dan pada gilirannya nanti dalam perilaku kemanusiaan yang mereka tunjukan. Persepsi tentang tuhan membentuk perilaku kemanusiaan seseorang.

Dunia Persepsional

Menurut pendapat para psikolog kognitif, dunia ini sejati-nya ada tiga wujud. Ketiganya berada dalam ruang berbeda sekalipun ketiganya berposisi tumpang tindih. Pertama, dunia proporsional, dunia faktual sebagaimana adanya, sebagaimana dihamparkan di alam semesta dan dihamparkan di depan manusia. Dunia ini sering disebut realita. Kedua, dunia persepsional, dunia sebagaimana dipahami oleh manusia atas segala realitas yang dihamparkan di depannya. Dunia ini ada dalam benak setiap orang.

Para kajian psikolog kognitif, merasa dunia ini adalah dunia paling rumit. Di sinilah terjadi abstraksi atas segala sesuatu yang memungkinkan hal-hal atau sesuatu yang sama pada dunia proporsional menjadi berbeda saat masuk ke dunia ini. Ajaran agama (disebut syar`i dalam istilah Islamologi) berada dalam dunia proporsional yang kemudian menjadi berbeda (disebut fiqh) dalam dunia persepsional.

Fenomena ini dapat menjelaskan mengapa kata jihad memiliki pengertian yang berbeda dalam benak seorang teroris dan seorang muslim moderat.

Hal lain yang juga memusingkan para ahli psikologi kognitif adalah kaitan antara apa yang dipikirkan seseorang dengan apa yang dikerjakannya. Karena, tidak semua tafsiran, yang sama sekalipun, bisa menghasilkan tindakan yang sama. Selain ada jurang antara pelbagai tafsiran juga ada jurang antara tafsiran dan tindakan. Jurang-jurang ini menjadi kajian yang tetap menggairahkan hingga saat ini.

Dalam konteks dunia persepsional ini, persoalan kita tidak sesederhana dinyatakan Romo Magnis, bahwa “kita harus menolak agama dengan wajah keras, keagamaan yang mengancam dan membenci dan meremehkan mereka berbeda”. Benar bahwa kekerasan atau ancam-mengancam tidak baik dalam beragama, tetapi jangan sampai kita lupa bahwa agama (tepatnya ajaran agama) adalah suatu dunia sendiri dan persepsi penganutnya terhadap ajaran agamanya adalah suatu dunia yang lain juga.

Ajaran Islam penuh kekerasan yang ditampilkan para teroris atau yang ditampilkan anggun para mujahid ilmuwan (para saintis yang menguak fenomena ciptaan Tuhan) tentulah berbeda dari agama yang ditampilkan para sufi, filsuf atau pengikut tarikat tertentu. Disinilah letak masalahnya. Musuh kita sesungguhnya bukanlah tindakan kekerasan atau ancam-mengancam itu sendiri, tetapi justru pikiran yang berisi tafsiran-tafsiran yang memicu tindakan.

Meminjam istilah ilmu hukum, mens rea-nya manusia harus dipahami secara lebih baik dibandingkan actus reus-nya. Komponen mental (mens rea) itu menjadi variabel penting menemukan akar kekerasan atas nama agama ataupun penodaan kemanusiaan dalam hubungan antaragama. Sejarah agama-agama—bahkan Sejarah Tuhan versi Karen Armstrong— adalah sejarah pikiran manusia alias sejarah persepsi tentang tuhan.

Selain dunia proporsional dan dunia persepsional di atas, dunia yang ketiga adalah dunia kultural, dunia tempat di mana nilai-nilai sudah tersistematisasi sebagai sains, filsafat dan teknologi. Dunia ini kuat pengaruhnya pada dunia persepsional. Dengan menggunakan pendekatan neuroplastisitas otak dapat dikatakan bahwa dunia kultural inilah yang bisa mengubah dunia persepsional manusia.

Dunia ini bisa mengubah struktur otak manusia, agar menyesuaikan- diri dengan dunia kultural itu sendiri. Dalam karya bersama mereka, The Self and its Brain (1977), filsuf terkenal Karl Popper dan ahli otak dan perilaku (neuropsikolog) John Eccles berusaha membuat sistematisasi perihal tiga dunia yang dimiliki manusia di atas dan menjadikannya lebih ilmiah. Dunia proporsional atau dunia-1 mereka sebut sebagai physical object and states, dunia persepsional atau dunia-2 mereka sebut state of consciousness, dan dunia kultural atau dunia-3 mereka sebut knowledge in objective sense. Teori tiga dunia dari Eccles dan Popper ini menjadi rujukan menarik untuk memahami survey Gallup- Baylor tentang God Perception masyarakat Amerika, seperti akan saya diskusikan di bawah.

Ketuhanan dan Kemanusiaan

Jika melihat studi Gallup-Barley (2006) tentang pandangan orang Amerika terhadap Tuhan (yg sudah disinggung secra ringkas diatas) tampak jelas bahwa cara persepsi seseorang terhadap Tuhan memberikan pengaruh terhadap beberapa aspek kehidupan, termasuk identitas politik.

Ini menjadi serangkaian bukti bahwa implementasi kepercayaan dan keyakinan seseorang pada Tuhan dalam bentuk kemanusiaan sejati memiliki domain kognitif yang besar. Ini dapat diartikan bahwa cara berpikir manusia menempati posisi penting dalam merangkai kemanusiaannya. Sejauh persepsi dan cara berpikir seseorang tidak tercerahkan, maka kemanusiaan atas nama agama akan menjadi hal yang absurd.

Kita tidak cukup hanya dengan berkata-kata, menulis atau melakukan sesuatu yang bersifat simtomatis (merespon apa yang ditunjukkan). Kita harus masuk ke dalam cara manusia berpikir untuk menemukan sesuatu yang bersifat etiologis (sebab-musabab)-nya. sejauh ini, dalam pengamatan saya, sisi kemanusiaan dari agama masih dipahami sebagai suatu gejala atau suatu yang bersifat simtomatis. Akibatnya, ibarat sebuah penyakit, kita hanya dapat menuntaskan keluhan (simtom) tanpa bisa membasmi sebab-musababnya.

Mengubah cara pandang menjadi suatu yang niscaya dalam hal ini. Disinilah saatnya kita bicara pendidikan sebagai sarana penyadaran, sarana brain-washing yang sangat canggih. Pendidikan harus direkayasa sedemikian rupa sehingga kita masuk pada jantung dari perubahan persepsi. (*)

Penulis adalah Penulis Buku Best Seller, Otak, Perilaku, Kepeminpinan dan Pendidikan

Comment