Empati yang Hilang

Oleh :
Basri Amin

Empati kepada sesama sepertinya mengalami guncangan dalam pergaulan sehari-hari kita. Perangai saling menyakiti melalui kekerasan wacana atau pun dengan modus “menyebar cerita” tentang orang lain, cenderung menjadi kebiasaan.

Persepsi lintas pribadi tidak lagi dibangun melalui “pengalaman bersama”, melainkan dengan mendayagunakan jalur-jalur “intipan” sepihak di media sosial. Anda dengan mudah membangun persepsi –yang cenderung Anda duga dengan meyakinkan—hanya dengan mengikuti pola bahasa, lingkaran pertemanan, dan variasi kegiatan yang ditampilkan seseorang di akun FB-nya.

Sebagiannya bisa dibenarkan. Bahwa profil seseorang bisa kita cermati di media sosial yang terbuka dan bebas dipakainya sebagai ruang display akan dirinya. Di dalamnya bukan hanya berisi bahasa, tapi juga berita bergambar, sejumlah ungkapan pilihan, visualitas yang dimodifikasi, perkumpulan atau asosiasi, atau sejenis perangai yang dicitrakan.

Di sela-sela itu semua, ungkapan “emosi”, “copy”an dan “cuitan” yang disertai dengan bahasa yang “menggantung” arti dan tafsir –-baik berupa bahasa yang kabur rujukan dan konotasinya, maupun dengan sejumlah tanda-tanda bahasa yang terbuka-bebas jawabannya—kesemuanya bisa hadir sekaligus. Anda bisa membacanya dengan aktif. Setiap saat.

Kita bersyukur di zaman ini karena dampak ledakan informasi demikian nyata. Meski tak semuanya layak ditakar dengan nilai positif. Siapa saja bisa meledakkan (peristiwa) tertentu dan selanjutnya dengan informasi tertentu juga mampu meledakkan (orang atau kelompok) tertentu.

Kekacauan informasi berlangsung intensif, terkadang lepas kendali, dan kalaupun bisa dikontrol oleh negara (bidang informatika), tetapi sekali sebuah peristiwa atau informasi (terlanjur) tertanam “di benak” orang maka tak ada satu kuasa pun yang mampu menjamin bahwa hal itu bisa sepenuhnya “normal” kembali. Dalam istilah lain, “jejak digital” adalah sebuah jejak yang bekas-bekasnya tak mudah dihapus.

Ingatan kita dan kapasitas otak yang kita punyai masihkah cukup memorinya di abad ini? Pendapat kita, termasuk para pakar, pastilah terbelah. Sebagian besar orang percaya bahwa manusia punya kemampuan besar. Ia akan selalu punya cara membuat “memori buatan” –sebagaimana tampak dalam keseharian kita: disk, memory card, chip, dst. Kecerdasan buatan juga semakin laku sekarang. Tak aneh lagi, teknologi robotik sudah berlaku di arena bisnis, kesehatan, manufaktur, teknik sipil, ekspedisi, peperangan, pendidikan, dst.

Mental kita akan semakin sehat dengan teknologi? Bisa ya, bisa tidak. Hakikatnya, teknologi akan selalu potensial kita tundukkan kalau kita tetap berada di alam kesadaran dan kewajaran kemanusiaan kita. Agensi kita sebagai manusia terletak di alam “kesadaran” itu dan melalui kapasitas kita yang lain: rasa, kreativitas, yakin kepada keajaiban, nalar yang dinamis, intuisi perubahan, nalar bawah sadar, nurani, nilai-nilai, dst.

Manusia, satu sama lain, akan senantiasa memberi tanda-tanda di setiap zamannya. Cekcok di tempat lain akan memicu damai di sudut dunia yang lain. Persaingan oleh kelompok manusia yang satu akan menjadi sebab bagi kelompok yang lain membentuk solidaritas atau koalisi. Begitulah naluri dasar masyarakat manusia: selalu ada yang tetap di tengah-tengah perubahan yang banyak.

Jika ada yang harus kita khawatirkan, maka hal itu adalah egoisme dan keserakahan. Itulah pangkal kezaliman dan ketidakadilan. Di beberapa bagian dari sejarah kita, keserakahan dan kesombongan –karena klaim kebenaran tertentu—adalah dasar dari kerusakan atau keruntuhan derajat kemanusiaan kita. Dalam konteks ini, tak ada garis super ideal yang  bisa kita rujuk secara praktis.

Berbagi cerita atau perkisahan tentang idealitas hidup dengan mudah terhalangi oleh kekisruhan motif material dan status sosial yang kita bangun. Sistem modern memang meniscayakan keterasingan seperti itu. Tak perlu jauh-jauh, amatilah di sekitar Anda, betapa setiap hari kita banyak saksikan bagaimana kerenggangan pertemanan, rasa kesejawatan, dan kesetiakawanan dalam persahabatan, begitu mudah goyah, ambigu, dan hancur. Ada paradoks yang serius karena gejala ini bahkan sering dialami oleh mereka yang merasa hidup di lapisan “elite/pejabat”, “kelas menengah”; bahkan banyak di antara mereka adalah golongan terpelajar dan/atau yang mapan secara sosial dan finansial.

Empati tak lagi jadi pelajaran bersama yang diajarkan dengan benar. Kita krisis contoh dan keteladanan. Bahkan, jika kita mampu jujur, dalam organisasi pemerintah dan pendidikan pun, contoh-contoh terbaik dalam kesejawatan dan kesetiakawanan, terutama dalam “satunya kata dan perbuatan”, tak lagi jadi simpul nilai yang konsisten dipegang.

Persaingan demi persaingan, cekcok demi cekcok karena motif materi, aspirasi kuasa dan perburuan citra diri, nyaris sudah di atas segalanya. Demi itu semua, kuasa kebohongan dan kemunafikan dilembagakan.

Retorika makin subur-menjamur tapi logika dan etika tak pernah dengan konsisten ditumbuh-suburkan. Sebagai dampaknya, kita lebih sering menyaksikan orang-orang yang terlatih-tampan bicara di berbagai forum tapi kita sangat tak yakin dengan konsistensi kerjanya di alam nyata.

Pada beberapa kasus, begitu banyak tokoh yang tampak ketagihan memproduksi “omongan (judul) besar” tapi tak pernah betah berada di tengah-tengah orang biasa atau bersama warga yang dipimpinnya guna menemukan “agenda besar” yang besar dampaknya ke masa depan. Orang-orang seperti itu sesungguhnya menyimpan dendam tertentu atau “obsesi terselubung” di dalam dirinya.

Empati menjadi redup karena percakapan bermakna makin sempit peredarannya. Radius pembelajaran kita yang tumbuh dari kaidah-kaidah empati cenderung berhenti sebagai norma-norma tapi tak bergerak ke alam nyata. Jika toh kita mengajarkan empati, yang kita ciptakan adalah empati yang sudah dilembagakan. Anak-anak kita ajak ke panti-panti asuhan tetapi “volume cerita” hidup yang berhasil ditangkap, dihayati, dibandingkan dan selanjutnya “diolah” dalam pergulatan nalar sosial dan pertumbuhan nurani-spiritual mereka (masih) jarang dimediasi di ruang-ruang belajarnya.

Bagaimana dengan orang-orang yang sudah merasa/mengaku besar atau dewasa? Jika ukurannya adalah tindak kekerasan, perilaku menyimpang, egoisme yang merusak, mental korupsi dan hipokrisi, justru harus kita katakan bahwa penyakit utama kita terletak di kelompok ini. Bukankah Negara “dikelola” oleh mereka yang kita tempatkan sebagai orang dewasa atau manusia yang sudah matang?

Faktanya, moralitas publik banyak kempes di tangan mereka. Lancung di ujian! Negeri ini sangat gagal karena anak-anaknya telah lama menonton kebusukan perilaku “orang tua”nya di media: korupsi, manipulasi, pertikaian, dan percekcokan.

Jika demikian, empati yang memihak kepada anak-anak kita tidak semata dibangun di atas hamparan contoh-contoh ideal. Kita juga harus menempanya di masa-masa sulit seperti saat ini. Kita butuh percakapan yang intens, penjelasan yang berwibawa dan empatik, serta contoh-contoh yang membumi-terasa di setiap keadaan (Howe, 2015). Masih banyak ruang hidup yang membuat kepekaan, rasa cinta, persahabatan dan kedamaian bersemai di lingkungan terdekat dan di tempat-tempat kerja kita.***

Penulis adalah parner di Voice-of-HaleHepu.
E-mail: basriamin@gmail.com

Comment