Kusno Dhanupojo, Jejak Juang untuk Republik

Oleh :
Basri Amin

Tokoh besar ini adalah seorang nasionalis dengan jejak juang yang melintasi Sulawesi, Sumatera, dan Jawa. Di Gorontalo, Raden Mas (R.M.) Kusno Dhanupojo sangat terkenal dengan titelnya sebagai ‘Dwi Tunggal’ karena bersama Nani Wartabone berhasil-heroik melakukan coup d’etat atas otoritas kolonial Belanda di daerah ini dan bersama-sama menyatakan “Kemerdekaan Indonesia di Gorontalo”.

Dwitunggal itu bermula dari komitmen musyawarah mereka bahwa Nani Wartabone sebagai Kepala Pucuk Pemerintahan–Militer dan Kusno Dhanupojo sebagai Kepala Pucuk Pemerintahan-Sipil. Kedua tokoh ini sesungguhnya bahu-membahu menata kekuatan-kekuatan (angkatan) bersenjata (oleh Nani Wartabone) dan konsolidasi pemerintahan sipil (oleh Kusno Dhanupojo) dengan membentuk Dewan Perwakilan Rakjat yang berasal dari wakil-wakil partai politik.

Bulan Maret punya jejak khusus tentang R.M. Kusno Dhanupojo (1913-1967). Ia dilantik menjadi Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Lampung pada hari Selasa pagi, 10 Maret 1964 oleh Menteri Dalam Negeri di Jakarta berdasarkan SK Presiden Ir. Soekarno (SK No. 36, tanggal 18 Februari 1964). Di tahun itu, jabatannya di Kemendagri adalah “Asisten Urusan Kepulauan Sulawesi”.

Beberapa hari kemudian, tepatnya pada Rabu 18 Maret 1964, serah terima jabatan dari Pj Gubernur Sumatera Selatan dari Brigjen Abu Jazid Bustomi kepada R.M Kusno Dhanupojo di Tandjungkarang. Sejak itu, Provinsi Lampung berdiri sendiri dengan Gubernur pertamanya R.M Kusno Dhanupojo. Kedua pejabat ini menjalankan UU No. 3 Tahun 1964 yang mengatur reorganisasi (wilayah) provinsi di Sumatera Selatan. Lampung menjadi “Daerah Tingkat I” sejak 1964.

Sampai hari ini, pengetahuan kita tentang tokoh nasional ini relatif masih terbatas. Padahal, Kusno Dhanupojo punya jejak-jejang juang yang unik sepanjang hidupnya

KOTA Gorontalo (di) hari Jumat, 23 Januari 1942. Sepanjang malam menjelang subuh, R.M. Kusno Dhanupojo mondar-mandir di kota ini dengan penuh ketegangan dan tanda tanya, sambil menyaksikan “kesiapan rakyat” Gorontalo yang berdatangan begitu banyak dan berkelompok dari Suwawa, Kabila, Kota, Tapa, dst. Semua pembagian tugas itu sudah dirapatkan dengan matang di forum “Komite 12”, pada 15-16 Januari 1942.

Di rumah Kusno Dhanupojo di Ipilo, seminggu sebelumnya, tepatnya malam Jumat 15-16 Januari 1942, sebuah rapat rahasia yang melahirkan “Komite 12” sudah membahas agenda “meruntuhkan kekuasaan” kolonial di Gorontalo, dengan menghitung banyak keadaan dan keadaan rakyat yang hendak dibumi-hanguskan oleh pasukan khusus Belanda menjelang kedatangan Jepang. Ada dua pilihan pendapat tentang strategi coup d’etat atas otoritas kolonial Belanda di Gorontalo –dalam situasi Perang Pasifik dan Jepang mulai menyerang pusat-pusat kekuasaan Belanda di Indonesia, juga telah memasuki wilayah Sulawesi Utara pada 11 Januari 1942–.

Tokoh politik dan pejuang Kemerdekaan di Gorontalo, yang terpantul dari figur Kusno Dhanupojo dan Nani Wartabone, sempat terbelah antara strategi “perang gerilya” (kekuatan Rakyat –ini strategi awal Nani), atau melalui jalan coup d’etat dengan resiko tinggi (pemaksaan dan pelucutan kekuatan terbuka –ini adalah “cara lain” yang lebih menguntungkan). Inilah keputusan yang dipilih bersama oleh Nani-Kusno, dkk GAPI-nya. Jumat, 23 Januari 1942. Pasukan dipimpin langsung oleh Nani Wartabone. Di Subuh hari, ia sudah datang bersama pasukannya dari Suwawa dan langsung menduduki Kantor Pos dan Telegraf, kemudian disusul Kusno Dhanupojo untuk keduanya bersama-sama bergerak mendatangi, memaksa-menyerah puluhan aparatus Belanda dan pejabat-pejabat sipil-kolonial yang tertinggal di kota Gorontalo.

Mereka dilumpuhkan hanya dalam hitungan jam. Histeria dan soliditas-juang rakyat Gorontalo dan tokoh-tokohnya tak bisa dibendung lagi. Sekian jam setelahnya, “Proklamasi Kemerdekaan (Bangsa) Indonesia di Gorontalo” dikumandangkan, Merah Putih Berkibar, Indonesia Raya dinyanyikan dengan heroik. Tak lama setelah itu, Pucuk Pimpinan Pemerintahan Gorontalo (PPPG) disusun oleh Dwi Tunggal Nani Wartabone – Kusno Dhanupojo.

Sebelum dimintakan oleh Presiden Ir. Soekarno —melalui Kementerian Dalam Negeri— sebagai pejabat tinggi di Jakarta, R.M. Kusno Dhanupojo sudah menorehkan banyak peran besar di Sulawesi. Pada periode 1942-1960an, ia lebih banyak di Sulawesi, kendati pada beberapa momen krusial sempat ke Jakarta dan Yogyakarta ketika Kusno Dhanupoyo harus menyampaikan beberapa resolusi politik penting untuk konsolidasi politik dan pemerintahan Indonesia di Sulawesi pada pasca Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Kita tahu, di periode 1945-1955 di Sulawesi, banyak pergolakan regional yang terjadi. Demikian juga di periode 1957-1959. Pada Januari 1946, Kusno Dhanupojo termasuk tokoh sentral dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia (di) Sulawesi Utara yang diutus-khusus menemui Dr. Sam Ratulangie di Makassar dalam rangka mematangkan kesolidan pejuang nasional di daerah-daerah pada pasca Proklamasi 17-08-1945. Sebelumnya, pada Agustus 1945, Kusno dan dua orang lainnya (G.E. Dauhan dan Anton Manoppo) telah berusaha keras menyatukan “Merah-Putih” dan jiwa Proklamasi dari Selatan ke Utara Sulawesi (Wowor, 1985: 24, 38).

Sejak 1944, Kusno Dhanupojo terlibat aktif di Badan Persiapan Pemerintahan Kemerdekaan Indonesia. Rapat-rapat mereka dilangsungkan di Tondano. Di sinilah tokoh-tokoh seperti BW Lapian, H.D. Manoppo, E.H.W. Palengkahu (Ketua) membahas situasi di masa Jepang yang kritikal. Uniknya, tercatat tokoh Gorontalo (Muhammadiyah) yang aktif di Badan ini, yaitu Tom Olii (Manus, dkk, 1991/1992).

Ketika republik ini kembali menghadapi guncangan hebat di akhir tahun 1949, tokoh nasional (Sulawesi),yakni R.M. Kusno Dhanupojo, B.W. Lapian, dan Arnold Mononutu menemui Presiden Soekarno di Yogyakarta (ibu kota negara di masa transisi). Mereka tiba di Yogyakarta pada 23 Desember 1949 dan diterima Presiden untuk mendengarkan pandangan-pandangan mereka. Oleh Presiden Soekarno, tokoh nasional (dari) Sulawesi ini kemudian dimintakan kembali ke Sulawesi dan menata pemerintahan. Harap dicatat, di masa itu, aliran Republikein di Parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) terkenal dengan ungkapan “Sekali ke Yogya tetap ke Yogya…”. Dalam banyak dokumen, terbaca bahwa Kusno Dhanupojo termasuk proponen pejuang “Merah Putih 1946 Sulawesi Utara”.

Sebelum itu, di tahun yang sama, pada 12 Juni 1949, rombongan aliran Republikan dari NIT yang terkenal gigih dengan “negara Kesatuan R.I” pun sudah ke Yogyakarta untuk satu kunjungan besar yang diberi judul ‘misi muhibah NIT’ –dikenal pula sebagai “misi Mononutu” (Wowor, 1977: 132). Yang unik, seorang tokoh Gorontalo yang lain adalah anggota rombongan muhibah di Yogya tersebut, yakni Ajuba Wartabone (Kakak Nani Wartabone); ia pernah menduduki jabatan Jogugu/Marsaoleh Limboto.

Perlu sejenak dicatat bahwa ada sejumlah tokoh Gorontalo yang terlibat di masa parlemen NIT. Pada periode Konferensi Denpasar (7 Desember 1946) wakil-wakil Sulawesi Utara adalah Ajuba Wartabone dan Tom Olii. Sebelumnya, di Konferensi Malino (15-25 Juli 1946) wakil Gorontalo adalah: H. Katili. Beliau terkenal karena pandangan-pandangan kritis ekonominya di konferensi ini (Kempen, 1953).

Kusno Dhanupojo pernah tercatat sebagai Kepala Pemerintahan berdasarkan SK acting Gubernur Sulawesi (ibu kota di Makassar) yaitu B.W. Lapian, sejak 1 Maret 1951. Posisi Kusno Dhanupojo adalah Kordinator Pemerintahan di Wilayah Utara Provinsi Sulawesi (Sangir Talaud, Minahasa, Sulawesi Utara, dan Tengah). Jabatan ini dipegangnya sampai pada 2 Agustus 1951, tidak lama setelah Lapian digantikan oleh Gubernur Sudiro. Jabatan ‘serupa’ sebenarnya pernah dijabat oleh Kusno Dhanupojo tahun 1962, yakni sebagai Residen Kordinator Sulawesi Tengah, sebelum akhirnya ia ditarik ke Jakarta (Kemendagri) dalam posisi di Departemen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, sebelum ia ditugaskan belajar di Amerika Serikat (KR/AN, 1962).

Pada periode 1964-1966, R.M. Kusno Dhanupojo lebih banyak di Lampung dan mengabdikan dirinya sebagai Penjabat dan Gubernur Lampung. Di masa itu, banyak kemajuan yang dikerjakannya, termasuk beberapa idenya tentang kemajuan daerah, stabilitas pemerintahan, transmigrasi, pendidikan tinggi, dan infrastruktur pembangunan. Ia kembali dikukuhkan/dilantik dalam status Kepala Daerah Tingkat I Lampung pada 12 Februari 1966 (SK Presiden No 21 Tahun 1966). Tak lama setelah itu, ia kembali ke Kemendagri dan menjalani masa-masa akhir hidupnya yang sangat bermakna sampai wafat pada hari Sabtu 6 Mei 1967 di Jakarta (Ant, 1967).

Catatan ini adalah sebagian kecil dari sebuah kajian panjang, yang diharapkan bisa diobrolkan secara luas pada momentum “110 Tahun R.M. Kusno Dhanupojo”, Jejak Juang untuk Republik, insya Alloh pada 12 Agustus 2023 di Gorontalo dan di Jakarta. Kepada khalayak pembaca dan pihak-pihak yang berkenan melengkapi pengetahuan kami untuk niat luhur ini, dengan tangan terbuka yang ikhlas kami menyambutnya. Tokoh besar ini terbukti memberi kita banyak pelajaran dan pemahaman tentang pembentukan negara-bangsa bernama Indonesia. **

Penulis adalah peneliti di Pusat Studi Dokumentasi (PSD) H.B. Jassin.
Pos-el: basriamin@gmail.com

Comment