Pedagang Bingung, Padahal Pendapatan Baru Mulai Pulih

Gorontalopost.id – Pemerintah melarang perdagangan pakaian bekas impor. Di Gorontalo, pakaian yang banyak dijual di pasar tradisional ini, disebut Cabo alias cakar bongkar. Peminatnya banyak, dari orang biasa hingga berduit pun doyan cabo. Apalagi kalau beruntung, bisa mendapat brand dengan kualitas yang masih bagus.

‘Pilih saja, plih saja, pilih saja blih saja,’ begitu suara pengeras suara yang meraung di pasar Limboto, pekan lalu. Tak salah, suara itu adalah ciri khas pedagang cabo, untuk mengundang pelangganya datang merapat ke lapak dagangan. Benar saja, lapak dagangan cabo di pasar limboto memang dijubeli pembeli. Mereka membongkar tumpukan pakaian bekas berbagai model itu, dan untuk memilih. Harganya memang ‘banting’ dari Rp 20 ribu hingga Rp 100 ribu per potong.

“Lumayan, banyak peminatnya,” kata Nasir Sabihi, pedagang cabo di pasar Limboto.

Hanya saja, Nasir mengaku kaget dan bingung dengan aturan pemerintah yang baru, yakni larangan cabo. Kata dia, dagang cabo adalah profesinya sejak beberapa tahun lalu. Cabo juga yang membuat dapur keluarganya ngepul. Saat ini kata dia, dagang pakaian bekas itu baru mau pulih, setelah pandemi kurang lebih tiga tahun terakhir. Tapi dengan adanya larangan jualan, turut berdampak pada pendapatanya.

“Akhir-akhir ini pendapatan sedikit, satu hari itu hanya dapat Rp 150 ribu saja itupun kurang” ucapnya.

Di pasar yang sama, Zainudin Mohamad pedagang Cabo lainnya menanggapi persoalan aturan larangan import pakaian bekas itu juga dengan nada bingung.

“Jika memang sudah tidak diadakan lagi impor pakaian bekas, terus kita para pedagang itu kemana? Harus ada alternatif lain ketika ini dihilangkan,” tuturnya.

Dia mengakui bahwa aturan larangan import pakaian bekas itu jelas berpengaruh pada pendapatanya. Apalagi, kata dia, kondisi saat ini.

“Kadang dapat kadang tidak, tapi menjelang ramadhan seperti ini pendapatan meningkat dalam sehari itu (total) bisa sampai Rp 5 juta,” ungkapnya.

Menurut mereka, dagang cabo merupakan sumper pendapatan yang halal, sebab selama ini, kekhawatiran tetang bakteri yang ada di dalam pakaian bekas impor itu, juga belum nampak kasusnya.

Tak hanya itu, salah satu pemilik thrift shop yang berada di Jalan Sirsak Blok B 197 Perumahan Tomulabutao, Jefri Suaib, juga ikut menanggapi persoalan aturan larangan import pakaian bekas,

“Kalau ini memang sudah aturan pemerintah dan itu sudah perintah dari kosong satu dari bapak presiden itu, maka harus ada solusi lain,” ungkapnya Jefri.

Sebagai penjual thrift, ia mengatakan bahwa selama dia menjual thrift tidak pernah ada kasus penyakitan akibat menggunakan pakaian bekas yang dijual. Apalagi pakaian yang ia jual berasal dari Korea, Singapore, Malaysia itu sebelum masuk ke Indonesia, masih disterilkan terlebih dahulu.

“Kalau memang seandainya pemerintah menerapkan bahwa di negara Indonesia memang sudah tidak bisa lagi, apa jalan keluarnya pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan buat kita penjual thrifting, sediakan lapangan pekerjaan, jadi kita-kita penjual thrifting ini istirahat yang penting ada lapangan pekerjaan dari pemerintah,” ungkapnya.

Omzet yang ia dapatkan sebelum dan sesudah adanya larangan import pakaian bekas luar negeri ini tetap lah sama sehari bisa mencapai Rp 500 ribu. (Mg.018)

Comment