Oleh :
Basri Amin
Kolumnis Gorontalo Post
SELAMAT datang, Pak Kyai. Selamat datang di Gorontalo Bapak Wakil Presiden, R.I. Inilah Provinsi yang tergolong “istimewa” dalam sejarah Republik Indonesia. Nasionalisme rakyat Gorontalo berkobar sejak awal. Raja-raja dan Sultannya di masa kerajaan Islam sangat kokoh melawan kolonialisme sejak abad ke-17.
Pada hari JUMAT, “23 Januari 1942”, nasionalis Gorontalo Nani Wartabone – R.M. Kusno Dhanupojo, dkk sudah mendeklarasikan “Kemerdekaan Indonesia di Gorontalo”, Merah Putih sudah berkibar dan Pemerintahan Nasional sudah berdiri (MI, 1950; Kempen-Sulawesi, 1953; KP, 1966; TB, 1982; ). Di masa itu, di Jawa masih berjuang dengan invasi Jepang tapi di Gorontalo sang “Dwi Warna Merah Putih” sudah berkibar (Lapian, 1980).
Kehadiran Bapak Wapres sungguh bermakna di momentum Ramadan 1444 hijriyah tahun ini. Islam terterima di daerah ini cukup awal, di akhir abad ke-15 dan semakin kokoh penyebarannya sepanjang abad 16 dan 17, sebagaimana artefaknya bisa terlihat pada dua masjid tertua di Gorontalo: Masji Hunto di Biawu (1495) dan Masjid “Boki Owutango” (1523-1525) di Tamalate. Islam (di) Gorontalo mengakar pelembagaannya sejak Sultan Amai mengikat tali-pernikahan dengan Boki Owutango, seorang putri bangsawan dari pesisir Selatan Tomini (kerajaan Ogomonjolo, Palasa). Di kawasan ini, “hubungan diplomatik” dan pengaruh “Islam Ternate”, Maluku Utara, sangat kental (Amal, 2002; Abdullah, 1987).
Di wilayah Limboto, tercatat bahwa Islam sudah diterima secara perorangan sejak tahun 1490 dan di masa Sultan Matolodula Kiki (1550) agama Islam semakin kuat di Gorontalo, sampai mencapai titik terhebatnya di masa Sultan Eato, 1673-1679. Secara resmi, Islam menjadi agama kerajaan sejak tahun 1563 (Nur, 1996; Polontalo, 1998; Lipoeto, 1950).
Penulis Belanda J.G.F Riedel, sekitar tahun 1860an, sangat terpukau dengan khazanah Islam di Gorontalo, antara lain karena dia menemukan bahwa ulama-ulama Islam Gorontalo di masa itu telah membaca, mengajar, dan mengamalkan sejumlah kitab Islam klasik yang terpandang. Jumlahnya tidak kurang 77 kitab Islam klasik bertema Tauhid, Fiqh, Siasat, Tasawuf, dst (Riedel, TBG, 1879).
Penulis klasik Gorontalo, M. Lipoeto, dalam bukunya “Boekoe Poesaka Gorontalo” (1949/1950) menulis bahwa baginda raja Mohamad Iskandar PuI Monoarfa (1860) adalah seorang raja yang mengembangkan pembelajaran Islam yang intensif. Beliau dikenal sebagai seorang alim yang mempunyai kemampuan ilmu agama yang tinggi, pandai berbahasa Arab dan “mengaji Kitab”. Beliau adalah menantu Sayid Alwi Al-Habsy. Beliaulah yang mengembangkan “seni Islam” awal di Gorontalo, misalnya melalui karangan-karangan syair, zikir tepuk rabana, surujanji, dan lagu-lagu islami lainnya.
Gorontalo juga sangat dikenal dengan adat dan agama Islam-nya yang kental. Gorontalo adalah “wilayah hukum adat” ke-9 dari sembilan belas wilayah adat di Indonesia. Ini adalah klasifikasi yang dirumuskan oleh Professor Van Vollenhoven (1874-1933), sebagaimana termuat dalam tulisannya pada Juni 1907. Rumusan ini sangat besar artinya dalam sejarah Indonesia, terutama dalam hubungannya dengan pembentukan “kesadaran identitas” suku-suku bangsa di Indonesia. Argumentasi Van Vollenhoven sangat mendalam karena melalui proses pengkajian yang panjang dangan penentuan kategori (hukum adat) yang cukup rumit. Begitulah yang terulas dalam dua jilid buku seminalnya, Het Adatrecht van Nederlandsch-Indie (1918 dan 1931).
Di baca dari masa kini, Gorontalo adalah “Provinsi Agraris”. Daerah ini adalah wilayah agraris dengan fakta kemiskinan yang cukup akut. Terkesan “tidak banyak berubah” beberapa tahun terakhir ini. Di setiap pergantian kekuasaan, terobosan besar di tingkat perdesaan dan pertanian juga terkesan “normal-normal” saja. Kendati pertanian tetap menempati sektor utama, tetapi pergerakan subsektornya belum berubah menjadi daya-ungkit yang kokoh bagi percepatan kesejahteraan sebagian besar rakyat di Gorontalo.
Dengan angka kemiskinan di atas 15% sejak 2017, apa yang bisa diterangkan dalam percepatan pembangunan daerah ini. Petani gurem Gorontalo tetap berada di posisi 34% sejak 2013, ditambah dengan penurunan jumlah rumah tangga petani dan daya belinya yang relatif tidak beranjak. Pertumbuhan regenerasi petani tidak bangkit memadai di desa-desa. Ketika mulai terjadi pergeseran dari dominasi tanaman pangan kepada subsektor peternakan dan perkebunan, juga di sektor jasa (26% PDRB, 2013), apakah ini akan menjadi tanda penting bagi sebuah transformasi yang menjanjikan buat masa depan?
Kabupaten Gorontalo adalah contoh sementara yang menarik diberi perhatian. Jumlah rumah tangga usaha pertanian dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Tercatat dalam SP-2013, hanya di tiga kecamatan yang signifikan perkembangan rumah tangga usaha pertaniannya: Boliyohuto, Mootilango dan Tolangohula. Kecamatan lainnya mengalami penurunan, bahkan untuk kasus Tilango mencapai penurunan 66,81 persen. Di luar itu, “petani Gurem” jumlahnya cukup besar di Kabupaten Gorontalo, bahkan indikasinya sejak 2013 mendominasi total petani Gurem se-provinsi Gorontalo, tidak kurang dari empat puluh persen. Dalam soal produksi, Kabupaten Gorontalo sangat penting posisinya karena memberi kontribusi besar terhadap total produksi padi di Gorontalo, disusul Boalemo dan Gorontalo Utara.
Gorontalo (hanya) mempunyai lahan sawah 3%, lahan ‘bukan sawah’ 61% dan lahan ‘bukan pertanian’ seluas 36%. Begitulah yang divisualkan Sensus Pertanian (SP-2013). Di tahun yang sama, Dinas Pertanian provinsi Gorontalo mencatat luas lahan untuk usaha pertanian sebesar 762.458 hektar (2013). Sebagai perbandingan, menurut catatan Mahmud (2019), luas lahan pertanian Gorontalo di awal 2000-an adalah 463.649 hektar. Indikasi luas hutan yang terus berkurang di Gorontalo merupakan akibat dari ekspansi usaha pertanian, terutama jagung, sebagaimana tampak pada tanda-tanda penggunaan wilayah perbukitan dan dataran tinggi lainnya bahkan pada ketinggian 30%.
Menjadi provinsi agraris bukanlah tanpa persoalan. Sejak awal, harga yang jatuh-bangun, risiko lingkungan dan kejenuhan lahan menanggung “beban produksi” tanaman pangan telah terbaca di Gorontalo. Tapi, obsesi menjadi “provinsi jagung” setiap tahunnya memintakan bukti-bukti nyata, terutama karena angka-angka ekspor terus membesar. Sudah jamak diketahui, bahwa selain bungkil Kopra, pencapaian ekspor terbesar Gorontalo sampai hari-hari ini adalah Jagung.
Sejak awal, pamor jagung selalu terdepan ketika orang membicarakan martabat “pertanian” Gorontalo. Komoditas ini di-ekspor dari tahun ke tahun ke mancanegara. Seringkali bahkan dibuatkan “acara Jagung” di pelabuhan, dst. Ceritanya sederhana: produksi membesar, elite berkumpul, pejabat (pemerintah) pidato, kabar-kabar tersiar luas di media.
Lalu, apakah petani dan petanian Gorontalo (memang) bagus-bagus saja?. Banyak cara untuk menjawab pertanyaan seperti ini. Tapi satu hal yang terang: Petani terlalu jarang menjadi subjek-sumber (utama) pemberitaan. Jangankan wajahnya, suaranya saja tak pernah berbunyi. Petani kita terkesan, dari masa ke masa, tak pernah punya daulat menyuarakan diri-mereka sendiri dan mengabarkan hasil-hasil keringat-nya yang nyata sebagai marka mulia dari kehidupan bersama kita di republik agraris (?) ini.
Begitulah Gorontalo, Bapak Wapres!
Mohon doa dan dukungan, Pak Kyai Ma’ruf Amin.
Insya Alloh berkah Ramadan menyinari daerah ini untuk senantiasa memuliakan Ilmu, melahirkan Pemimpin amanah, mengubah nasib rakyat yang berkekurangan, dan bersama-sama mengerjakan hari Esok yang lebih baik. Kini generasi (baru) Gorontalo menantikan keteladanan nyata, “adab masa depan”, dan dukungan sepenuh-hati dari Negara dan daerah atas cita-cita besar mereka ke masa depan. ***
Comment