Kemenangan

Oleh:
Anang S. Otoluwa
(Kadis Kesehatan Provinsi Gorontalo)

DALAM diri manusia ada tiga unsur jiwa yang selalu berperang. Pertama, adalah jiwa hewani (animal soul). Jiwa hewani ini adalah dorongan, keinginan, naluri, atau insting dasar manusia. Dorongan ini selalu mendesak, ingin dipenuhi segera. Yang termasuk disini adalah keinginan makan, minum, merokok, atau seksual. Terkadang, bila dorongan ini begitu kuat maka pemenuhannya bisa menerabas aturan ataupun norma-norma. Sebagai misal, seseorang yang tidak bisa menahan nafsu seksualnya bisa-bisa terlibat kasus pemerkosaan.

Kedua, jiwa insani (human soul). Jiwa insani posisinya di atas jiwa hewani. Kekuatan jiwa insani adalah pada kemampuannya untuk mengendalikan jiwa hewani dengan bertumpu pada daya nalar atau intelektual seseorang. Jiwa ini mengarahkan manusia untuk selalu memikirkan dampak perilaku manusia secara realistis. Pada contoh kasus di atas, bila jiwa hewani pada seseorang mulai mengajak atau menorong-dorong untuk memperkosa, maka jiwa insani akan selalu memberi peringatan secara rasional. “Bagaimana bila kamu tiba-tiba dipergoki Satpam? Atau, bagaimana bila sebaliknya saudara perempuan atau ibu kamu yang diperkosa?” Begitulah kira-kira peringatan jiwa insani.

Ketiga, jiwa rabbani (divine soul) . Jiwa ini sering disebut juga ruh Ilahi, karena memang sumbernya berasal dari Allah (QS. 32 ayat 7-9). Dalam bahasa psikologi, ini disebut sebagai nurani, suara hati, atau suara Tuhan. Ketika berkonflik dengan jiwa hewani, maka jiwa rabbani akan memberikan pertimbangan dengan mengedepankan nilai-nilai moral atau agama. Ketika timbul keinginan memperkosa, maka suara hati akan memberikan peringatan: “Memperkosa itu hukumnya haram, dan ganjarannya adalah neraka jahanam.”

Demikianlah eksistensi ketiga jiwa ini. Dalam diri seseorang ketiganya selalu berkonflik, dan inilah yang dikenal dengan istilah konflik batin. Perilaku seseorang sangat ditentukan oleh jiwa mana yang menang. Jika jiwa hewani yang menang, maka seseorang bisa berperilaku seperti hewan, bahkan lebih rendah derajatnya. Begitu halnya bila jiwa rabbani yang dominan maka seseorang dapat berperilaku seperti malaikat yang terpelihara dari sifat-sifat tercela.

Untuk itulah, guna membimbinng dirinya menjadi insan sempurna, maka tugas utama manusia adalah mengelola unsur-unsur ini agar kompetisi jangan sampai dimenangi oleh jiwa hewani. Tetapi hal ini tidak mudah. Daya tarik jiwa hewani begitu kuat. Makan, minum, merokok, atau hubungan seksual menawarkan kenikmatan tiada tara. Sehingganya, pada banyak orang, jiwa hewani ini yang menang. Banyak orang yang gagal mengendalikan kuasa nafsu makan, ataupun seksual.

Karena itu, Tuhan yang Maha Pemurah lalu memberikan fasilitas kepada manusia agar dapat mengelola konflik ini dengan baik. Salah satu tool atau fasilitas itu adalah puasa. Bila dianalisis lebih dalam, maka inti rangkaian ibadah puasa adalah bagaimana mengendalikan jiwa hewani. Larangan makan, minum, dan bercampur dengan istri di siang hari adalah cara Tuhan untuk melatih manusia agar mampu mengatasi jiwa hewani. Mendengarkan ceramah atau mengkaji kandungan Qur’an dimaksudkan untuk memberikan penguatan terhadap kemampuan nalar manusia (jiwa insani).

Sementara sholat, dan ibadah lain dimaksudkan sebagai bagian dari upaya mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah atau mengaktualkan sifat ruhani pada manusia (jiwa rabbani). Istimewanya, Tuhan menyempurnakan Ramadhan dengan malam lailatul qadr. Jika manusia bersungguh-sungguh mendekati Tuhan, ruh Tuhan pun turun untuk mendekati mereka pada malam seribu bulan itu.

Semua fasilitas istimewa di bulan Ramadhan ini diberikan Tuhan agar manusia bisa selalu mengatasi jiwa hewani. Jiwa insani, dan lebih-lebih jiwa ruhani diharapkan selalu bisa menang ketika menghadapi rayuan jiwa hewani. Inilah hakekat kemenangan yang diidam-idamkan setiap muslim di akhir Ramadhan. Berbeda dengan kompetisi Piala Dunia yang hanya menghasilkan satu keseblasan juara, maka kompetisi jiwa bisa dimenangkan oleh semua orang. Semoga kita termasuk salah satu diantaranya. Wallahu a’lam bis shawab.(*)

Comment