Redefinisi Perda Lembaga Adat (1)

Oleh:
Yusran Lapananda

Saat ini keberadaan Perda Lembaga Adat, Lembaga Adat, Adat Istiadat dan Hukum Adat di Gorontalo didiskusikan terbuka pada ruang publik. Diskusinya seputar kualitas Perda Lembaga Adat, eksistensi Lembaga Adat, pelaksanaan Adat Istiadat hingga penerapan Hukum Adat di Gorontalo, dan lain sebagainya. Adat Istiadat yang saya maksudkan adalah Tata Upacara Adat Gorontalo. Diskusi ini merupakan dimensi perbaikan guna melengkapi dan menyempurnakan sesuatu yang sudah ada, bukan untuk meniadakan yang sudah ada. Dari diskusi ini, saya pun ingin mengelaborasinya dengan “meredefinisi” Perda Lembaga Adat, Lembaga Adat, Adat Istiadat dan Hukum Adat di Gorontalo dengan pendekatan hukum & perundang-undangan.

Keinginan untuk meredefinisi ini didorong oleh pemetaan atas adat Gorontalo yang termasuk ke dalam 19 wilayah hukum adat Indonesia. Hal ini diungkapkan oleh seorang ahli hukum dan antropolog Belanda Cornelis van Vollenhoven (8 Mei 1874-29 April 1933) yang dikenal sebagai Bapak Hukum Adat. Cornelis van Vollenhoven, orang pertama yang mencanangkan gagasan, hukum adat wilayah Indonesia dibagi menjadi 19 lingkungan/lingkaran hukum adat, dalam bukunya Het Adatrecht van Nederlandsch Indie (Hukum Adat di Hindia Belanda), 1912. Susunan lingkungan 19 hukum adat, menurutnya: (1). Aceh; (2). Gayo, Alas, Batak, Nias; (3). Minangkabau; (4). Sumatera Selatan & Enggano; (5). Daerah Melayu; (6). Bangka dan Belitung; (7). Kalimantan; (8). Minahasa; (9). Gorontalo; 10. Daerah/Tanah Toraja; (11). Sulawesi Selatan; (12). Kepulauan Ternate; (13). Maluku-Ambon; (14). Irian; (15). Kepulauan Timor; (16). Bali dan Lombok; (17). Jawa Tengah, Jawa Timur termasuk Madura; (18). Daerah Kerjaan Solo Yogyakarta; (19). Jawa Barat.

Selain itu, pengakuan hukum adat Indonesia termasuk adat Gorontalo dijamin pula dalam konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”.

Nah, Pemerintah Provinsi Gorontalo dan Pemerintah Kabupaten/Kota se Gorontalo harus mengambil peran untuk melestarikan, mengembangkan, mengelola hingga membina masyarakat adat Gorontalo, temasuk adat istiadat dan hukum adat Gorontalo. Setelah terbentuknya Provinsi Gorontalo Lembaga Adat perlu diredifinisi. Tercatat banyak hal yang perlu diredefinisi misalnya soal Perda Lembaga Adat dan Lembaga Adat serta Adat Istiadat salah satunya kedudukan Gubernur dan Bupati/Walikota. Hal lainnya soal pembentukan Perda/Perkada Lembaga Adat di Kabupaten/Kota.

Untuk Adat Istiadat atau Tata Upacara Adat Gorontalo perlu dikompilasi atau dikodifikasi. Dan terakhir adalah perlunya kompilasi atau kodifikasi mengenai Hukum Adat Gorontalo. Memang untuk meredefinisi soal Perda Lembaga Adat, Lembaga Adar, Adat Istiadat serta Hukum Adat butuh waktu, pikiran, pendanaan, “political will” dan keinginan baik dari semua pihak terutama Pemerintah Daerah Provinsi Gorontalo beserta Pemerintah Kabupaten/Kota.

Walaupun hingga saat ini UU Indonesia belum menyatukan jaminan bagi keberadaan dan pelesterian dan pengembangan serta pembinaan masyarakat adat termasuk adat istiadat dan hukum adat, namun setidaknya RUU tentang Masyarakat Adat sementara dibahas di DPR dan pemberlakuan beberapa peraturan dibawah UU seperti Peraturan Menteri mengatur pelesteraian adat.

Mudah bagi daerah-daerah untuk memberi kepastian dan keadilan bagi keberadaan masyarakat adat termasuk Lembaga Adat, Adat Istiadat dan Hukum Adat. UU Nomor 22 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan hingga Permendagri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah memberi ruang bagi daerah untuk membentuk Perda mengenai masyarakat adat termasuk Lembaga Adat, Adat Istiadat dan Hukum Adat sebagai pelaksanaan penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan lebih tinggi, rencana pembangunan daerah, atau aspirasi masyarakat daerah.

Kewenangan untuk membentuk Perda tentang Adat (lembaga adat, adat istiadat dan hukum adat) baik oleh Provinsi, Kabupaten dan Kota diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf p dan dijelaskan dalam angka V. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Kebudayaan Lampiran UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yakni salah satu urusan pemerintahan wajib Pemerintah Daerah adalah urusan dibidang kebudayaan meliputi: pengelolaan kebudayaan, pelestarian tradisi, dan pembinaan lembaga adat di Daerah. Selain itu, membentuk Perda tentang Adat (lembaga adat, adat istiadat dan hukum adat) didasarkan pada kewenangan, juga didasarkan pada penyelenggaraan otonomi daerah. Sehingga tak ada keraguan bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk Perda tentang Penyelenggaraan Lembaga Adat atau dengan sebutan lainnya. Namun, yang perlu menjadi perhatian adalah materi muatan dan kualitas pengaturannya, apakah sudah dapat memenuhi segala harapan dan menampung keinginan masyarakat serta adat istiadat itu sendiri.

 Perda Penyelenggaraan Lembaga Adat

Kini Daerah Gorontalo punya Perda tentang Penyelenggaraan Lembaga Adat yang ditetapkan melalui Perda Provinsi Gorontalo Nomor 2 Tahun 2016 tanggal 11 Maret 2016. Semestinya Perda tentang Lembaga Adat ini diterbitkan setelah terbentuknya Provinsi Gorontalo ditahun 2000. Jika dihitung hampir 8 tahun Perda ini berlaku sejak tanggal diundangkan pada tanggal 17 Maret 2016. Namun demikian, keberadaan Perda ini belum mampu menjawab dan tak berkesesuain dengan keinginan dan harapan publik, sehingga Perda ini perlu perubahan untuk penyempurnaannya.

Perda ini hanya mengatur sesuata yang sudah diketahui umum soal Lembaga Adat. Selain itu, hanya mengatur sesuatu yang utopis (sangat baik dalam gambaran tapi sulit untuk diwujudkan). Perda ini hanya “menggantungkan” (membiarkan terbengkalai karena tidak digarap) berbagai persoalan daerah tentang lembaga adat, adat istiadat dan hukum adat, dan tak mampu menjawab serta tak menyempurnakan berbagai diskusi-dikusi pada ruang publik.

Perda ini tergolong Perda terpendek atau paling singkat, hanya terdiri dari 15 (lima belas) Pasal saja. Perda ini hanya mengatur 4 (empat) pokok muatan, yakni: (1). maksud dan tujuan Perda, (2). kedudukan, tugas, fungsi, wewenang dan kewajiban lembaga adat, (3). tugas dan kuasa kepada Gubernur, dan (4). keuangan lembaga adat.

Pada pokoknya, Perda ini hanya memberi tugas secara nyata kepada Gubernur untuk menata lembaga adat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 2 “Perda ini dimaksudkan sebagai pedoman penataan lembaga adat di daerah Gorontalo. Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (1) kembali Gubernur diberi tugas untuk memfasilitasi penataan lembaga adat dengan berbagai kegiatan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 8 ayat (3) Gubernur diberi tugas untuk menata lembaga adat dengan membentuknya dengan Peraturan Gorontalo.

Dari ketentuan Pasal 8 ayat (3), penataan lembaga adat diatur dengan Peraturan Gubernur sangat berkaitan dengan tugas Gubernur lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 14 yang menyatakan, Peraturan pelaksanaan Perda ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Perda ini diundangkan. Dari ketentuan ini maka yang dimaksud dengan peraturan pelaksanaan dari Perda Nomor 2 Tahun 2016 adalah Peraturan Gubernur, bukan Keputusan Gubernur. Jika mengacu pada ketentuan ini maka Peraturan Gubernur sebagai pelaksanaan dari Perda ini atau Peraturan Gubernur mengenai Penataan Lembaga Adat sudah diterbitkan paling lambat 16 Maret 2017.

Memang dalam ketantuan Pasal 9 Perda Nomor 2 Tahun 2016 tugas Gubernur untuk melakukan penataan lembaga adat dilaksanakan oleh beberapa SKPD atau dengan sebutan lainnya yakni Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikak dan Kebudayaan, Dinas Sosial, dan Biro PP & Kesra. Selain itu, seluruh SKPD wajib melalukan koordinasi dengan SKPD pelaksana dan hasil penataan lembaga adat dikoordinasikan dengan Bupati dan Walikota. Kebijakan ini memang sangat “ribet” & sangat teknis serta tak melibatkan tokoh dan masyarakat adat, tak pantas dirumuskan dalam Perda.

Tugas dan tanggungjawab lainnya yang dikuasakan kepada Gubernur sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11 Perda Nomor 2 Tahun 2016, yakni Gubernur wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Lembaga Adat meliputi: (a). pemberian pedoman teknis pelaksanaan dan pengembangan lembaga adat; (b). memberikan pedoman penyusunan perencanaan pembangunan partisipatif; (c). menetapkan bantuan pembiayaan alokasi dana untuk pembinaan dan pengembangan lembaga adat; (d). memberikan bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan serta pemberdayaan lembaga adat; (e). melakukan pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan lembaga adat; (f). menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi lembaga adat; dan (g). memberikan penghargaan atas prestasi yang dilaksanakan lembaga adat.

Tugas dan tanggungjawab Gubernur untuk membina dan mengawasi terhadap Lembaga Adat mengundang tanya publik. Apakah tugas dan tanggungjawab ini, sejak tanggal 16 Maret 2016 Perda ini diundangkan sudah dilaksanakan oleh Gubernur hingga Pj. Gubernur?.

Jangka waktu 8 tahun bukanlah waktu singkat untuk merumuskan Peraturan Gubernur tentang Penataan Lembaga Adat. Dalam rentang waktu 8 tahun sudah berganti Gubernur ke Pj. Gubernur dan ke Pj. Gubernur. Dalam jangka 8 tahun ini apakah sudah terbitkah Peraturan Gubernur tentang Penataan Lembaga Adat Gorontalo dan Peraturan Gubernur lainnya sebagai pelaksanaan dari Perda Nomor 2 tahun 2016.?

Selanjutnya akan dibahas, redefinisi Perda tentang Penyelenggaraan Lembaga Adat, keberadaan dan penataan lembaga adat, kodifikasi/kompilasi Adat Istiadat (Tata Upacara Adat Gorontalo) dan Hukum Adat Gorontalo.(*)

Penulis adalah Penulis Buku Hukum Pengelolaan Keuangan Desa

 

Comment