Politik Angka-Angka

oleh :
Basri Amin

Dengan angka-angka kita bisa membangun sesuatu, tapi melalui angka-angka pula kita bisa rela mati demi sesuatu. Dengan angka kita (berseru) tentang kebenaran, tapi melalui angka pula kita (berteriak) mendekor kebohongan.

Di kala lain, kebesaran angka tak begitu penting, karena dalam perkara tertentu justru semakin kecil angka perolehan justru semakin baik. Tapi, dalam pertarungan menang-kalah, peruntungan hanya ditakar di atas timbangkan akumulasi angka besar. Ini terjadi ketika Anda hendak menjadi Presiden, Anggota DPR, begitupula ketika Anda hendak menjadi Kepala Desa. Hal serupa terjadi di kalangan ormas, pun di persaingan di Komisi negara, dst.

Dari perhelatan angka-angka kita bisa belajar hal fundamental, bahwa kemenangan selamanya bersifat sementara!. Ia emotif dan deklaratif sekaligus. Tapi tidak demikian dengan kebenaran. Ia logik dan etik sekaligus. Itu sebabnya gema kebenaran (berlaku) sepanjang hayat. Denyutnya dengan mudah terbaca oleh nalar dan nurani kita.

Anda boleh memanipulasi dengan angka-angka, tapi tidaklah demikian dengan kesaksian nalar dan kepekaan nurani akan kebenaran. Kebutaan kita pada pertanyaan tentang kebenaran adalah pangkal tragedi atas nilai-nilai luhur dan sekaligus sebagai kubangan besar bagi penistaan kita terhadap akal budi.

Di hadapan orang banyak, angka-angka bisa memukau. Bahkan membuat histeria. Perhatikanlah dunia sepak bola. Juga, perhatikanlah pula ketika sebuah pertarungan kuasa dipertontonkan. Yang terjadi adalah orang begitu mudah “menghamba” kepada (akumulasi) angka-angka: siapa lebih banyak? Dia atau saya? Lebih baik bukan dia, jika memang bukan saya.

Bagi yang berotak pas-pasan, baginya tak begitu penting untuk memandang “soal-soal” yang melatari pencapaian angka-angka. Juga tak penting untuk bersikap terhadap bebalisme. Baginya, apa pun itu toh dengan mudah dicarikan alasan dan pembenaran. Bahkan ada yang berkata, “dalam pertarungan kuasa, menipu adalah keharusan”.

Angka-angka bisa pula berperan sebagai pembungkus soliditas dan solidaritas tertentu. Dengan angka, kontras penanda “kita” bersama siapa dan “mereka” berkawanan dengan siapa, pun terbentuk, menggumpal dan mengapungkan kontras-kontras baru dalam pergaulan sehari-hari. Dengan itulah pula lingkaran demi lingkaran yang menodai ruang-ruang yang cair, hangat dan produktif dalam pergaulan menjadi acak. Alasan demi alasan untuk menyisipkan interes pribadi dikelola sedemikian rupa. Yang satu kita pangku dengan hormat, sementara yang lain kita hempaskan tanpa empati.

Adakah yang salah dengan angka-angka? Tidak! Justru penciptaan “angka” adalah salah satu puncak pencapaian kemanusiaan kita. Angka adalah ukuran, relasi, dan formula. Ia adalah sejenis “simbolisme”. Ia kompleks dan simpel sekaligus. Tak ada yang cukup dengan sebuah angka (nominal, misalnya). Karena melalui angka pulalah kita bisa membentuk akumulasi, reduksi dan gradasi tertentu. Di “balik” simbolisme angka juga kita berupaya merangkai makna-makna, ketersambungan “ini ditambah itu, dikurang ini, dikali itu, dibagi ini,…”; serta sebuah keterpisahan “jika-maka” yang mendasari (keterhandalan) logika dalam memahami suatu gejala, peristiwa atau ancangan-ancangan tertentu, dst.

Jika Anda hebat dalam perhitungan, Anda pasti akan diperhitungkan. Jika Anda cerdas menghasilkan kata-kata, maka Anda pasti akan menerima (tambahan) kata-kata juga…. Di sini berlaku hukum timbal-balik. Tapi apakah hukum “perhitungan” itu berlaku bagi semua perkara? Apakah angka-angka akan otomatis menyelamatkan keberartian harapan-harapan kita?

Semuanya akan berpulang kepada “kita” sendiri. Sebagai spesies yang di dalam hidupnya dititipkan “Nur” dan “Ruh” dari Maha Pencipta, manusia bisa mencapai sesuatu dengan kesadaran dan kekuatannya, termasuk dalam mengolah potensinya dalam mengutak-atik “angka-angka”, untuk rupa-rupa tujuan dan itikad.

Bukankah Tuhan sering meminta kita, hambaNya, untuk selalu ”menghitung” waktu, karunia, nikmat, amal-amal, dan dosa-dosa?. Kelak, di Akhirat nanti, juga akan berlaku “Hari Perhitungan”, sebagai pasangan-epistemik dari “Hari Pembalasan” dari Tuhan. Maka, apa yang dalam ukuran sehari-hari kita pikirkan dan perlombakan –melalui pertarungan angka-angka–, itu sesungguhnya mengandung “amanah” bagi kita sebagai makhluk pilihan.

Kepada angka-angka kita bisa berkaca, bahwa melalui angka kita bisa terbelah: menjadi manusia yang diperhitungkan atau sekadar menjadi manusia yang hanya berarti karena sebuah hasil perhitungan. Setelah itu, yang akan terjadi adalah bahwa kita semua bukan siapa-siapa: tak sepenuhnya tegak seperti angka “1” tapi juga tak harus berarti kosong-hampa seperti angka”nol”.

Angka-angka amat penting dalam “proses belajar”, “konstruk pengetahuan” dan “kompetisi kuasa”, begitupula dalam perkara bisnis atau perdagangan. Tapi apakah angka-angka adalah belajar itu sendiri? Apakah “rasa miskin” bisa diwakili oleh persentasi “angka miskin?” Apakah angka-angka bisa “diperjual-belikan?” Dan apakah angka-angka bisa “dikuasai” oleh mereka yang berkuasa? Di banyak arena hidup, tak semua orang terlibat dalam urusan angka-angka. Bagi mereka yang begitu dekat dengan “karunia alam”, angka-angka tak bermanfaat. Bahkan tak mereka kenal. Baginya, kehidupan bukanlah urusan besar-kecil atau kurang-tambah; kali-bagi, dst. Hidup adalah pencarian yang menenangkan. ***

 Penulis adalah Pemulung Pengetahuan dan Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo
Pos-el: basriamin@gmail.com

Comment