WTP dan Rasa Keadilan Masyarakat

Oleh:
Yusran Lapananda
Penulis adalah Ahli Hukum Keuangan Daerah

 

PENDAHULUAN

Pemda-Pemda diakhir Maret “rame-rame” & kebut-kebutan mengejar batas waktu penyampaian LKPD (laporan keuangan pemerintah daerah). Pemda-Pemda maksimal 3 bulan setelah TA berakhir menyampaikan LKPD kepada BPK. Awal April BPK memulai pemeriksaan. Dalam tempo maksimal 2 bulan setelah LKPD diterima, BPK menyelesaikan pemeriksaan & awal Juni BPK menyerahkan LHP disertai opini kepada Pemda & DPRD.

Dalam rentang waktu 2 bulan, April-Mei Pemda-Pemda memulai perburuan opini. Tentunya opini WTP (wajar tanpa pengecualian) yang diburu. Tak peduli isi LKPD kacau balau & amburadul, penuh dengan hutang-hutang, gagal bayar, salah saji termasuk kurang saji atas hutang-hutang. Pokoknya harus WTP.

Untuk beroleh & bertahan pada opini WTP berbagai daya, upaya & usaha dilakukan Pemda-Pemda. Namun demikian. Pemda-Pemda dalam menyusun LKPD butuh perjuangan ekstra & berdarah-darah, harus menutup sana-sini berbagai kekurangan & kelemahan. Paling mendasar adalah penganggaran & penggunaan anggaran yang didominasi oleh kepentingan politik DPRD & Pemda-Pemda (Pokir, Perdis, TKI, hutang & pekerjaan tak kunjung usai)) walaupun disana-sini menabrak berbagai aturan hingga sudah tak berdasarkan pada aturan.

Antara rasa optimisme & pesismisme melanda Pemda-Pemda dengan rasa was-was, beroleh opini WTP atau tidak lagi. Pokoknya WTP lagi. Berharap kebaikan BPK, walaupun sederet temuan kerugian menghiasi LHP Sementara yang nilainya material & mempengaruhi opini WTP, cukup dengan mengembalikan kerugian Negara/daerah tanpa harus melalui proses TGR, yang penting nilai temuan kerugian Negara turun dibawah nilai material & WTP lagi.

Tak heran persepsi dimasyarakat, WTP hanyalah pemenuhan prestasi BPK semata, target WTP semuanya. WTP bukan untuk pemenuhan rasa keadilan masyarakat. Sehingga bagi masyarakat WTP sudah tak bernilai lagi, yang mudah diperoleh sebagai hadiah saja.

MEMAHAMI OPINI BPK

Tujuan pemeriksaan LK (laporan keuangan), memberikan pendapat/opini atas kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK. Opini merupakan pernyataan profesional pemeriksa sebagai kesimpulan pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam LK. BPK dapat memberikan 4 jenis opini, yaitu: (a). Wajar Tanpa Pengecualian (WTP/unqualified Opinion) & WTP-DPP (Wajar Tanpa Pengecualian Dengan Paragraf Penjelasan). (b). Wajar Dengan Pengecualian (WDP/Qualified Opinion). (c). Tidak Memberikan Pendapat (TMT/Disclaimer Opinion). (d). Tidak Wajar (TW/Adverse Opinion).

Opini harus memenuhi kriteria pemberian opini, yakni: (a) kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan; (b) kecukupan pengungkapan (adequate disclosures); (c) kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan; (d) efektivitas sistem pengendalian intern (SPI). Ke-4 jenis opini yang bisa diberikan oleh BPK dengan dasar pertimbangan utamanya adalah kewajaran penyajian pos-pos laporan keuangan sesuai dengan SAP.

Dengan memperhatikan kriteria pemberian opini, pada dasarnya terdapat 4 kondisi yang dapat menentukan/mempengaruhi pemberian opini yaitu: Pertama, Pembatasan lingkup audit atau kecukupan bukti. Pada kondisi ini, pemeriksa wajib mengumpulkan bukti yang kompeten melalui inspeksi, pengamatan, pengajuan pertanyaan & konfirmasi sebagai dasar untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit.

Ketidakmampuan auditor dalam memperoleh bukti merupakan pembatasan lingkup bagi auditor dalam memenuhi stadar pemeriksaan. Contoh Pembatasan lingkup audit atau kecukupan bukti, yakni: (a). Keadaan di luar kendali entitas. Mislanya catatan akuntansi hancur (karena kebakaran misalnya), Catatan akuntansi telah disita oleh aparat pemerintah untuk waktu yang tidak dapat ditentukan, Adanya ketidakpastian. (b). Keadaan terkait sifat dan waktu penugasan. Misalnya waktu yang tersedia untuk penghitungan persediaan tidak cukup, Pengendalian entitas tidak efektif & pemeriksa tidak dapat menerapkan prosedur alternatif untuk memperoleh bukti yang cukup & ketidakcukupan catatan akuntansi. (c). Pembatasan oleh manajemen. Misalnya manajemen membatasi auditor melaksanakan prosedur peninjauan fisik, konfirmasi kepada pihak ketiga, ataupun pembatasan lainnya dalam pemeriksaan.

Kedua, Penyimpangan dari prinsip akuntansi atau salah saji. Pemberian opini atas LK harus didasarkan pada keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan telah disajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai dengan prinsip akuntansi. Penyajian LK secara wajar artinya tidak terdapat salah saji yang material. Salah saji diklasifikasikan, dalam: (a). Kesesuaian pilihan kebijakan akuntansi. (b). Penerapan kebijakan akutansi terpilih. (c). Kesesuaian atau kecukupan pengungkapan dalam LK. (d). Penyebab salah saji.

Salah saji dapat disebabkan oleh ketidakpatuhan terhadap regulasi, kecurangan (fraud) & ketidakpatutan (abuse). Ketidakpatutan merupakan perbuatan yang tidak masuk akal & di luar praktik-praktik yang lazim. Salah saji juga dapat terjadi karena tidak efektifnya pengendalian intern. Karena kita mengacu pada SPAP, makna dari ketidaksesuaian dengan SAP seyogyanya dapat diperluas bukan hanya untuk hal-hal yang diatur dalam PSAP, akan tetapi dapat diperluas sebagai berikut: (a). Prinsip akuntansi yang sudah diatur dalam PSAP & interprestasinya serta Bultek termasuk kerangka konseptual. (b). Ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang, misalnya Permendagri atau Permenkeu. (c). Praktik atau pernyataan resmi yang sudah diakui secara luas berlaku umum karena sudah merupakan praktik yang lazim.

Ketiga, Materialitas. Materialitas adalah besarnya informasi akuntansi yang apabila terjadi salah saji. Penetapan batas materialitas meliputi pertimbangan secara kuantitatif atau kualitatif terutama terkait dengan tingkat kepentingan para pihak terhadap LK. Salah saji dapat dikatakan material apabila kesalahan penyajian tersebut mempengaruhi keputusan yang diambil oleh pengguna LK.

Dalam penerapan konsep materialitas, terdapat 3 tingkatan nilai yang menentukan jenis opini yang akan diterbitkan, yakni: (a). Tidak Material, kesalahan penyajian dapat terjadi tetapi salah saji tersebut tidak mempengaruhi keputusan yang dibuat oleh pengguna LK. (b). Material, tidak mempengaruhi keseluruhan penyajian LK. Kesalahan penyajian dapat mempengaruhi keputusan seorang pengguna LK, tetapi secara keseluruhan LK tetap disajikan secara wajar & tetap dapat digunakan, atau salah saji tersebut tidak memiliki pengaruh menyeluruh pada kewajaran LK, karena dampaknya hanya terjadi pada akun tersebut. (c). Sangat material, mempengaruhi kewajaran penyajian seluruh LK. Salah saji sangat material terhadap keseluruhan LK adalah apabila salah saji secara nilai sangat material dan/atau mempunyai pengaruh secara luas terhadap akun dan/atau laporan lainnya.

Keempat, Pervasive. Saat menentukan tingkat materialitas dari suatu kesalahan penyajian, auditor juga harus mempertimbangkan seberapa besar pengaruh salah saji tersebut terhadap bagian-bagian LK lainnya. Pengaruh semacam ini disebut sebagai tingkat resapan atau rembetan (pervasiveness). Suatu salah saji dikatakan pervasive apabila salah saji tersebut memiliki pengaruh pada akun lain. Pertimbangan atas pervasive didasarkan pada 3 faktor yakni: Kompleksitas, Proporsi & Pengungkapan yang bersifat fundamental.

WTP, WAJAR TANPA PEMBAYARAN & RASA KEADILAN MASYARAKAT

WTP, salah satu opini dalam pemeriksaan oleh pemeriksa BPK. Bagi Pemda-Pemda, Kepala Daerah & pejabat lainnya, WTP adalah impian, keinginan, keharusan, harga diri hingga prestasi bernilai politis. Tapi tidak bagi ASN, Pemerintah Desa (Kades, BPD & perangkat desa), Guru-Guru, pelaku usaha, penyedia jasa/barang, kontraktor & masyarakat umum. WTP bagi mereka sesuatu harapan kesejahteraan. WTP bagi mereka adalah pemenuhan atas pembayaran hak-hak mereka tepat waktu. Mereka tak tahu menahu dengan salah saji, TGR, nilai material yang mempengaruhi opini & keyakinan Tim pemeriksa BPK. Mereka tak peduli, apa yang terjadi saat pemeriksaan & pembahasan, pergulatan & pergelutan dalam penentuan opini.

Bagi guru WTP identik dengan terbayarnya Tunjangan Profesi Guru atau sertifikasi guru & non sertifikasi guru atau tamsil guru tepat waktu, tak melewati TA tanpa hutang. Bagi Kepala Desa, BPD & perangkat desa, WTP adalah terbayarnya ADD & Bagi Hasil Pajak Daerah & Retribusi Daerah tepat waktu setiap awal bulan sebagai sumber pendapatan desa untuk pembayaran gaji (Siltap/penghasilan tetap). Bagi ASN WTP identik dengan terbayarnya Gaji, TPP, selisih kenaikan gaji 8%, THR, Gaji13, TPP 100% dalam THR, TPP 100% dalam Gaji13 & hak-hak ASN lainnya termasuk hutang TPP 50% dalam THR & Gaji13 TA 2023. Bagi pihak pelaku usaha, penyedia barang/jasa & kontraktor, WTP adalah terbayarnya hak-hak mereka tepat waktu usai pekerjaan selesai 100%  termasuk terbayarnya retensi pekerjaan.

Bagi masyarakat umumnya, WTP dapat memberi rasa keadilan bagi mereka. Terbayarnya hak-hak ASN, Guru-Guru, Kades-Kades, BPD, perangkat desa, pelaku usaha, penyedia jasa/barang & kontraktor serta pihak terkait lainnya full & tepat waktu akan memberi rasa keadilan bagi mereka, masyarakat pun turut menikmatinya.

Tiap kali penyerahan LHP (laporan hasil pemeriksaan) atas LKPD suatu daerah apalagi daerah tersebut beroleh atau bertahan dengan WTP, reaksi masyarakat bermunculan. Masyarakat menilai atas kepantasan WTP dengan parameter rasa keadilan masyarakakat. Parameter yang digunakan masyarakat berbeda dengan apa yang digunakan Tim pemeriksa BPK. Parameter utama masyarakat, WTP harus bersih dari tipikor. Apakah tipikor sudah diputus majelis hakim. Apakah masih dalam penyelidikan atau penyidikan. Pekerjaan yang tak kunjung usai & terbengkalai tak luput dari parameter masyarakat.

Bukan masyarakat saja. Tiap kali penyerahan opini WTP oleh BPK, ASN pun turut bereaksi atas kepantasan WTP yang disandang suatu daerah. Parameter yang digunakan berbeda dengan penilaian BPK & penilaian masyarakat. ASN lebih menilai pada pemenuhan hak-hak ASN seperti terbayar & tidak terbayarnya TPP, THR, Gaji13, TPP 100% dalam THR & Gaji13, Sertifikasi Guru, Tamsil/Non Sertifikasi Guru, Perdis hingga honor-honor,

Masyarakat, ASN, Pemerintah Desa (Kades-Kades, BPD & perangkat desa), Guru-Guru, pelaku usaha, penyedia jasa/barang, kontraktor dll tak peduli dengan kriteria pemeriksaan & pemberian opini BPK, yang mereka tahu WTP harus berkeseusian dengan rasa keadilan yang mereka rasakan, kesulitan & penderitaan yang mereka alami & rasa keadilan masyarakat. Bagi mereka, WTP adalah Wajar Tanpa Pembayaran bukan Wajar Tanpa Pengecualian.

PENUTUP

Saatnya BPK tak hanya memeriksa nilai-nilai dalam angka-angka yang disajikan dalam LK tanpa menelusurinya dilapangan. BPK harus membuka ruang atas rasa keadilan masyarakat. BPK harus mempertimbangkan informasi dari Pemerintah seperti Kejaksaan & Kepolisian baik langsung maupun melalui media cetak ataupun media online maupun informasi langsung dari masyarakat, ASN, Guru-Guru hingga LSM perihal buruknya tata kelola keuangan suatu daerah.

Saaatnya BPK dalam pemeriksaan atas LKPD & pemberian opini harus mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat. Jika tidak, LHP BPK hanya menjadi media pembenaran atas kesalahan yang dilakukan Pemda-Pemda. LHP BPK hanya menjadi perisai Pemda-Pemda kala dikritik masyakarakt. LHP BPK hanya menjadi pegangan Pemda-Pemda untuk melakukan kesalahan berulang, tahun-tahun berikutnya. LHP BPK yang tersusun dari duit rakyat tak memberi dampak kesejahteraan bagi masyarakat, malahan hanya membuat masyarakat melarat dengan kemiskinan & miskin dengan keterpurukan ekonomi & keuangan.(*)

Comment