Festival Fulus di Daerah Miskin

Oleh:
Basri Amin

GOLONGAN miskin, barangkali, tertarik juga membuat festival kehidupannya. Saat ini, mereka yang rentan demikian mudah jatuh berulang-ulang dalam kubangan kemiskinan dan ketertinggalan.Mereka terhempas ke luar arena kemajuan secara ber-generasi.

Mereka, golongan miskin itu, benar-benar tak beroleh tempat memadai dalam bersuara. Aspirasinyamudah dikempeskan karena roda pengetahuan dan percakapan publik terus diputar oleh kekuasaan di berbagai arena, dengan taktik yang sangat tipikal: “memutar ambisi” puji-pujian atas nama pembangunan dan kemajuan. Padahal, kegagalan demi kegagalan kerja sudah berulang kita saksikan di depan mata.

Kemajuan dan pengukurannya dikerjakan sepihak dan semakin menjauh dari relung-relung perasaan dan harapan teradil dari orang-orang ‘bawah’.

Pada tingkat moral, gejala kepentingan yang distortif jelas sangat salah. Itulah sebabnyakepentingan kelompok dan jangka pendekmakin diperkecil dan dihilangkan ruangnya di negara-negara modern. Kepentingan bersama, demikian juga dengan sumberdaya publik (public goods) adalah yang utama. Negara, dengan otonomi, aparat, dan regulasi yang dimilikinya, membayar aparatus-nya untuk mewujudkan “netralitas” pelayanan dan pemanfaatan setiap sumberdaya yang ada untuk publik, bukan untuk kelompok dan pertimbangan partisan.

Di Indonesia, deteksi terhadap kesenjangan yang menganga jarang muncul dari negara. Karena, negara selalu cenderung “sepihak” dalam membangun pengertian-pengertian tertentu tentang kemajuan. Logika positif, bahkan terkadang terlalu menggebu-gebu, yang dilontarkan oleh negara, dalam perjalanannya mengalami banyak belokan. Itulah yang ditunjukkan oleh republik ini selama puluhan tahun terakhir.

Kenyataan sehari-hari tak pernah diniatkan sebagai rujukan pembangunan. Gagasan terlalu mendikte, tapi tidak dengan motif yang otentik. Gagasan muncul bersilang-silangan hanya untuk memenuhi hasrat sepihak dari kalangan atas, sebagian oleh kelas menengah yang kreatif mengais peluang-peluang jangka pendek, secara dominan sebagai “pemburu rente” dalam pasar (kebijakan dan wacana) pembangunan.

Kelas menengah –-yakni mereka yang relatif terdidik dan merasa mapan di profesi yang digelutinya—adalah pelaku yang sangat tampak dalam sirkuit pembangunan sebuah bangsa. Meski demikian, kelas menengah tidak se-pasif yang kita bayangkan, karena sebagian di antara mereka adalah sekaligus sebagai “pemain yang lincah” bolak-balik mengurusi kenyamanan kelas mereka sendiri, tepat di saat-saat mereka berperan sebagai “dinamo” yang mahal bagi pergulatan kekuasaan di sektor ekonomi. Merekalah yang amat kentara memanfaatkan beragam jalur informal dan ruang negosiasi dengan kekuasaan.

Perangkap gagasan atas nama kemajuan bersama menyebar di banyak titik. Di sektor lingkungan hidup adalah yang paling nyata. Degradasi lingkungan kita yang semakin serius adalah indikasi paling terang dari perangkap gagasan “kemajuan” yang eksploitatif itu. Faktanya, tertanam pikiran dominan –-yang seringkali dengan super optimis— dalam pembangunan kita. Kekuasaan berlomba-lomba mengelola banyak istilah dan percobaan yang menyilaukan nalar orang banyak.

Nyaris tak ada dialog dan pandangan alternatif. Apa yang dikedepankan adalah desakan publikasi dan sirkulasi “puji diri” yang dililit oleh klaim demi klaim, piagam-piagam penghargaan, piala-piala yang rutin dan yang elitis.

Bahasa kita menegaskan aroma perayaan-perayaan jangka pendek yang riuh. Negeri kita menjadi “serba ramai”. Pembangunan kita dikepung oleh banyak “acara” dan perayaan. Tak heran kalau di banyak wilayah makin kerajinan membuat festival, expo, karnaval, dst, tapi diam-diam yang sesungguhnya kita rayakan adalah “tepuk-tepuk tangan” dan “kerumunan” publikasi.

Di banyak acara yang berjudul “festival budaya”, bungkusan-bungkusan kebudayaan lebih mengambil tempat dan itulah yang terus dicoba dikata-katai sebagai “kebudayaan”. Padahal, isinya sama sekali tidak menggugah daya cipta atau kreativitas masyarakat kita dalam jangka panjang. Tak ada nilai fundamental yang bersuara nyaring; tak ada gugatan identitas yang memandu siasat kolektif kita di abad ini.

Pencapaian material selalu memaparkan batas-batas. Termasuk di dalamnya berupa konflik dan penurunan mutu kemanusiaan kita. Harapan kita adalah bahwa pencapaian material hendaknya memfasilitasi pencapaian yang lebih bermakna dan yang lebih mendasar, yakni “pembebasan” berdasarkan tingkat kemakmuran yang berkeadilan. Prinsip inilah yang harus menjadi kaidah. Hal ini bukanlah sebuah soal yang mengada-ada, atau sebagai nilai yang dipercakapkan hanya agar kelihatan memihak dan gagah secara normatif, tapi justru merupakan titik berangkat dan sebagai titik kembali yang berkelanjutan.***

Penulis adalah
Parner di Voice-of-HaleHepu
E-mail: basriamin@gmail.com

Comment