Terjebak Di Lift

Oleh :
Anang S. Otoluwa

 

TEMAN saya, seorang ibu, terjebak di lift sebuah hotel. Kurang lebih 11 menit dia terkurung di ruang sempit itu. Sendirian. Pada menit ke 6 dia mulai gugup dan merasa sesak. Menit ke 8 dia sudah pasrah, duduk di lantai. Bersimpuh, menangis, dan berdoa, menunggu pertolongan.

Padahal belum ada 5 menit sebelumnya kami berpisah. Di depan kamar saya layani dia minta tanda tangan. Tidak lama berselang, saat saya hendak siap-siap sholat Isya, sy melihat panggilan darinya. Diujung telpon, terdengar suaranya terbata-bata: “Dok, minta tolong, saya terjebak di lift”.

Tanpa pikir panjang sy menuruni tangga. Beruntung, posisi saya hanya di lantai 3. Bagaimana jika di lantai 16 spt di hotel sebelumnya? Tiba di lantai dasar, segera saya cari petugas. Petugas datang dan memencet beberapa tombol di samping pintu lift. Namun lift tdk merespon. Di dalam, sang ibu bertambah gugup.

Tak lama, saya kembali menerima pesan darinya. “Dok, belum ada bantuan?” Saya jawab: “Petugas sdh ke lantai 4”.

Tapi, tak lama petugas tadi balik ke lantai dasar.
Rupanya dia tdk berhasil membuka pintu. Melalui radio panggil, dia segera menghubungi teman lain.
Akhirnya datang bala bantuan dari 2 temannya. Bergegas mrk ke lantai 4. Saat sy menyusul, entah bagaimana caranya, pintu lift sdh terbuka. Saya cari-cari, si ibu sudah tidak ada. Kata petugas, mereka dapati si ibu menangis dan lgsg menghambur ke kamar. Saya berucap syukur, teman saya akhirnya selamat.
*
Usai kejadian itu, lama saya duduk terdiam di kamar. Saya ikut merasakan kepanikan si ibu tadi. Seumur hidup, baru sekali saya mengalami hal demikian. Tapi, itu pun bersama 8 orang. Kejadiannya juga di lift RS Cedars Sinai yg ramai pengunjung, sehingga bila liftx macet, akan segera ketahuan. Meskipun begitu, kejadian itu cukup membekas. Sampai sekarang, klu naik lift sendirian saya agak was-was.

Setelah kondisi agak tenang, si ibu me WA saya. Katax; “Dok, beruntung sy bawa hp tadi”. Saya balas: “Beruntung juga sy melihat panggilan ibu”. Dan keuntungan itu saya tambahi daftarnya. Beruntung jaringan di dlm lift tdk hilang. Beruntung pula ruangan terang. Beruntung ruangan itu cukup longgar. Beruntung ‘hanya’ 11 menit terkurung di dalam.
*
Walau dalam skala yg jauh berbeda, sy membayangkan situasi yg ibu alami tadi spt di alam kubur. Saat sendirian kita disana, kepada siapa kita menelpon minta pertolongan? Satu-satunya penolong mungkin hanya Tuhan. Tp bagaimana kalau tdk ada sinyal? “Akh…, mungkin sinyal disana tergantung amalan”, jawab saya dalam hati. Bgm kalau nomor kenalan semua hilang? Atau dirusak virus Ransomware seperti data di PDN skrg?

Saya tdk berani berandai-andai lebih jauh. Membayangkan terkurung di lift saja saya tak sanggup, bagaimana dgn suasana di dalam kubur yang kondisinya lbh menakutkan? Bukankah ruang kubur lebih sempit? Bukannya disana gelap gulita? Bukannya disana kita akan terkurung utk lama yang tiada tara? Mana lagi, disaat yg sama kita hrs menjawab berbagai pertanyaan dr malaikat.

Selepas merenungkan semua itu, saya lalu cepat2 sholat. Sholat saya kali ini terasa lebih khusu’ drpd biasanya. Usai sholat saya berdoa agar punya “modal” untuk menjamin keselamatan. Semoga kemana-mana bisa bawa ‘hp’, punya ‘sinyal’, dan punya ‘nomor kontak’ yg msh bisa dihubungi kelak di akhirat. Begitu kira2 kiasan doa saya.

Saya juga berdoa agar tdk mengalami nasib spt yg ditulis Joko Pinurbo dalam puisi “Doa org sibuk yang berkantor 24 jam sehari di ponselnya”.

Tuhan, ponsel saya rusak dibanting lindu. Nomor kontak saya hilang semua. Satu-satunya yang tersisa hanya nomor Mu.

Tuhan berkata:” Dan itulah nomor yang tidak pernah kau sapa”.

Comment