Warisan Cinta, 50 Tahun Lalu

Oleh:
Basri Amin
Parner di Voice-of-HaleHepu

 

HIDUP dipandang bermakna atau berhasil kalau seseorang berhasil melahirkan “warisan” tertentu bagi orang lain (Covey, 2004). Hal ini terbaca agak sederhana, padahal maknanya demikian luas dan memberi kerangka kesadaran yang tak terbatas.

Apa yang dimaksud dengan warisan sangat ditentukan oleh kesadaran, harapan, dan pengalaman. Bagi sebagian orang, warisan bermakna material, sementara sebagian yang lain warisan bisa beragam bentuknya. Meski demikian, merenungkan warisan dalam arti “peninggalan” tertentu cukup jelas mengandung pesan yang serius, yakni sebuah koneksi antara kita dengan orang lain, termasuk jalinan fungsi antara “masa kita” dan “masa orang lain” yang akan hidup pada zaman yang berbeda.

Saya ditinggal ibunda tercinta sejak kecil, tetapi saya tidak banyak merasakan “kehilangan” yang sungguh-sungguh di usia pertumbuhan saya. Dilindungi oleh banyak orang dekat yang mencintai, yang penduli, dan yang memberi saya begitu banyak perhatian dan pengharapan. Dari mereka saya merasakan apa arti merelakan sesuatu…dari mereka saya belajar tentang ketidaksempurnaan kita di sepanjang hayat kita…

Makna warisan bisa pula bermakna keberlanjutan; bahwa ada “sesuatu” yang kita hadirkan dan ‘jangan sampai hilang begitu saja…”. Ia hendaknya dijaga dan dirujuk! Dan tidak mesti terkesan adanya periode (waktu) yang terpisah antara pemberi warisan dan penerima warisan.

Dalam perkara lain, warisan tak harus pula berarti bahwa semua hal harus diatur oleh rujukan normatif tertentu, tentang hak dan kewajiban di satu sisi dan status kebenaran akan hak dan kewajiban di sisi lain. Intinya, warisan berisi sebuah tanggung jawab dan kesadaran mengenai harapan tertentu yang kita lekatkan dalam “sesuatu” –-apa pun itu bentuknya–.

Pengharapan adalah sumber kekuatan karena di dalamnya terletak keyakinan pada potensi manusia dan nature hidup yang terbuka untuk diolah dan ‘dimanipulasi’. Dalam setiap pengharapan, di dalamnya juga terletak motivasi dan motif positif tentang perbedaan dan arah perbaikan.

Pengharapan dan perbaikan adalah sumber penyembuh bagi setiap luka, kekecewaan, dan waswas dalam kehidupan. Tantangannya adalah karena harapan mensyaratkan revolusi budi-bahasa” terlebih dahulu; revolusi dalam arti “ketegasan yang jernih atas sebuah pilihan dan persistensi kita dalam mengarahkan semua kemampuan ke arah yang dikehendaki, beserta makna-makna dan dilema-dilema yang menyertainya. Ketika kita sampai di ujung atau di bagian tertentu, apa yang kita temukan adalah kejutan-kejutan yang lain. Sesuatu yang tak mampu kita duga…”.

Ahad, 14 Juli, saya harus mengenang kehidupan saya yang tak punya dokumentasi masa kecil, juga tak punya kenangan dan mimpi. Ijazah SD dan SMP saya pun sudah hilang entah di mana. Di masa remaja, saya tak punya pakaian yang cukup selain seragam sekolah dan sekitar 3-5 lembar pakaian sehari-hari. Jarang diajak ke pasar, apalagi ikut hadir di pesta. Saya juga tak pernah mengenal liburan, apalagi terbang dengan pesawat udara. Intinya, tak punya kenangan yang banyak.

Warisan (kebanggaan) dari ayah dan ibunda saya adalah “belajar yang banyak dan yang berguna! Jaga harga diri dan selalu berani menegakkan yang benar…satu kata dan perbuatan…”. Sungguh berat menjaga warisan ini.

Saya sangat bersyukur kepada-Nya bahwa saya kemudian ditakdirkan menemukan seseorang yang luar biasa. Dialah yang menyertai kehidupan saya dan bahkan mengikhlaskan banyak hal dari hak-haknya sejauh ini. Meninggalkannnya sekian tahun ketika saya menempuh pendidikan di negeri yang jauh, sambil ia harus bekerja dan membesarkan putri-putri saya adalah tanggung jawabnya yang terberat. Saya amat sadar bahwa banyak orang yang mundur dan gagal mengemban tugas (berat) seperti itu. Padahal, tak ada sesuatu yang bisa saya janjikan kepadanya. Saya tahu, cukup banyak tangisan yang menyertai langkah-langkahnya, di tengah keterbatasan kami sekian tahun di Manado. Kamar yang sempit, kehamilan yang berat, anak yang sakit dan pekerjaan yang melelahkan.

Tak terhitung panjang perjalanan yang ia tempuh sehari-hari untuk membesarkan anak, berpindah-pindah “kos-kosan” dan mengolah uang yang pas-pasan. Dia sadar bahwa gaji harus dicukup-cukupkan dan tertanam harapan agar beroleh beasiswa untuk menyambung rencana. Syukur karena ada poros panjang yang selalu bersemangat, antara Manado, Isimu, Kampung Ternate, Kampung Arab, Paniki, dan Hawai’i. Tak berhenti disitu, poros lanjutan terus berjalan, saya masih harus belajar sekian tahun lagi di Leiden, tetapi kebutuhan primer makin menuntut. Tipenya yang rasional sering memaksa saya untuk mengalah dan berusaha untuk mengertinya, sambil belajar darinya tentang makna “hitungan” dan “rencana” dalam hidup. Wati, demikian saya memanggilnya. Ia lebih banyak memberi dari apa yang saya mampu berikan. Jika ada orang yang paling tahu kekurangan saya, dialah orangnya.

Dalam jalan panjang inilah, beberapa kebenaran terbukti, meski rintangan akan selalu datang. Jika ada suatu sumber kekuatan terbesar dalam hidup, setelah kekuatan Tuhan yang Maha Kuasa, kekuatan kedua itu adalah Cinta. Demikian ungkapan Naguib Mahfouz, sastrawan Arab perah nobel tahun 1988, dalam bukunya Life’s Wisdom (2009). Nukilan dari Mahfouz ini tentu benar, tapi bukanlah terbukti di ruang kosong, melainkan dalam pergumulan-pergumulan nyata, bahwa cinta adalah “jalan” dan “pilihan” yang tak terbatas.

Setiap orang mewariskan atau (di)warisi sejenis cinta yang lingkaran-lingkaran perjalanannya tidak harus ditafsir dan di-hitam-putihkan secara sederhana.

Manusia mewariskan cinta dan dengan warisan itulah kemanusiaan berkembang dalam wajahnya yang berwarna-warni. Kita tak mungkin memaksa warna yang paling sempurna di antara warna-warna yang ada. Karena itu, kemampuan kita jualah yang akhirnya menentukan apakah kita akan diselamatkan atau tidak oleh “warna cinta yang kita pilih…”.

Dalam bahasa Jerman, menurut psikolog terkenal Jerman Erich Fromm, cinta terletak pada akar kata yang sama dengan “pujian” (praise),  tetapi juga adalah menyangkut keceriaan dan kesenangan (joy), serta “kebebasan” (freedom). Dengan keadaan itulah maka cinta bisa berwujud dalam ratusan atau ribuan bentuknya, dan semuanya tak mampu dikuasai oleh kata-kata atau melalui bahasa apa pun (1995). Manifestasinya dipenuhi kejutan demi kejutan, bahkan mungkin kontradiksi dan kebingungan. Tak semuanya bisa ditakar dan dinilai begitu saja dengan mudah dan cepat. Bahkan kehalusan perwujudannya pun seringkali butuh melewati waktu yang panjang, berliku dan sedemikian rupa terlilit dan terlibat dalam banyak suasana dan sensasi.

Naguib Mahfouz memberi nasehat: “Jujurlah pada dunia dan mengabdilah kepada pekerjaan, dan semoga cinta, dan bukan hukum, yang mengendalikan hubungan antar-manusia.” Hari ini, ketika sebuah pertanyaan diajukan kepada kita tentang jenis warisan yang tengah kita persiapkan, tak semua orang mempunyai jawaban. Padahal, “warisan cinta” yang dibangun setiap orang, yang dijalaninya di atas gelombang dan pergumulan, menawarkan banyak warna untuk digunakan dalam melukis dan menikmati kehidupan kita yang sebenarnya. Mari kita buktikan di alam nyata.*** 

Comment