Bangsa Baliho di Negeri Sengketa  

Oleh:
Basri Amin

 

SEMAKIN banyak baliho yang kini lihai merayakan dusta. Sang “Aku” yang menempelkan kerserba-aku-an di mana-mana. Tak puas dengan dusta yang satu, lalu berpindah kepada dusta yang lain. Kuasa yang tak pernah memuaskan, dari perioe ke periode, dari yang satu ke satunya lagi; tetapi itu semua tak menyilaukan godaan pangkat-pangkat, kemewahan fasilitas dan mobilitas diri, dililit senyuman palsu yang elitis di antara puing-puing kemiskinan daerah yang terus merangkak.

Tampaknya, baliho-baliho Pilkada yang kini bertebaran di banyak tempat adalah pembaruan kata-kata yang semakin pongah di hadapan cermin ke-asli-an jati diri yang tidak pernah diuji terbuka kejujurannya. Pengulangan kata-kata manis di tengah-tengah timbunan “bau sampah” dan “comberan banjir” di mana-mana; kegetiran ekonomi kaki lima dan hak-hak petani-petani kita yang didustai hak-hak kemajuannya dari acara ke acara. Dusta di hadapan anak-anak kita, generasi baru yang kini dikepung dengan ketagihan main game yang makin tak bisa bernalar baik ke masa depan, bla..bla…

Hari-hari ini, sengketa demi sengketa terus menyeruak dan melilit di sekitar kita. Seperti tidak ada habisnya!. Di negeri ini, kisruh berwarna sengketa datang silih-berganti, dari Pemilu ke Pemilu; dari Pilkada ke Pilkada. Semua jadi tontonan. Semua bisa jadi persoalan. Tak kenal lapisan atas atau pun bawah, tabiat membuat sengketa nyaris sudah rata di semua kalangan dan profesi.

Di negeri kita ini, semua pihak semakin lincah menggunakan semua aturan untuk membuat sengketa. Ini adalah sebuah perkembangan yang menyesakkan nalar sehat kita dalam menapaki jalan panjang masa depan.

Sengketa, beserta latar yang mendasarinya, dilembagakan sedemikian rupa untuk memediasi sisi kompetitif dari perangai manusia. Pada tingkat formalnya, ini adalah cara yang paling mungkin dilakukan manusia. Tak heran kalau dalam proses pelembagaan itu, beragam pekerjaan (baru) pun muncul. Untuk satu rentetan urusan misalnya, tentang keadilan, pengadilan, dan penegakan hukum, begitu banyak pelaku yang terlibat –-dan tentu saja beroleh untung–. Tidak sedikit regulasi dan institusi yang menyangga perwujudannya. Semuanya atas nama menangani “sengketa” antar manusia dan kelompok manusia.

Pencapaian organisasional manusia terlihat dalam kemampuannya mengelola setiap sengketa yang mereka alami. Di sini, formalisme keteraturan diserahkan pada mekanisme yang tak kalah seriusnya, yakni tentang hukum, regulasi, atau legislasi. Sebagai akibatnya, kitab-kitab hukum dan administrasi yang menampung timbunan regulasi yang mengatur urusan-urusan manusia semakin tebal dan tersebar. Kita menjadi spesies yang dikepung oleh aturan. Itulah yang terus berkembang, menumpuk, dan mengepung kita.

Kini telah terbentuk semacam perlombaan (masyarakat) modern dalam mengatur kehidupannya. Negara yang mengklaim diri maju dan modern ditunjukkan pada eksposenya menghasilkan tumpukan pengaturan. Dalam situasi ini, yang dikedepankan adalah aturan dalam bentuk hukum-hukum. Kepada bentuk inilah di mana hampir semua sengketa atau konflik dipercayakan penanganannya. Nilai yang mendasarinya adalah mewujudkan keadilan. Tapi fakta yang masih terasa adalah wajah hukum yang cenderung “tajam ke bawah, tumpul ke atas”.

Zaman memang berubah, tapi hukum adalah pegangan yang terus diproduksi. Yang menarik di sini adalah karena masyarakat beroleh sandaran (ideal) yang membuatnya mampu menuntut hak-haknya. Di kala lain, masyarakat pun beroleh ruang untuk mempertanyakan pengabaian-pengabaian yang mereka alami. Relasi timbal balik seperti ini menjadi tidak sederhana karena laku pengabaian, kisah kalah dan menang, terbela dan terhempas, serta yang terhukum dan yang terbebas. Itulah sebabnya, dalam hemat saya, kekuatan hukum dalam sebuah bangsa tergambar dari konfigurasi cerita-cerita yang tumbuh di masyarakat tentang (praktik) hukum itu sendiri, termasuk tentang siapa penegaknya.

Tidak perlu semua orang menghapal pasal-pasal dalam kitab-kitab hukum. Yang dibutuhkan adalah tekad yang kuat untuk “tidak melanggar” hak-hak umum dan kepentingan orang lain. Dengan begitu, yang harus diusahakan adalah kepekaan atas makna kebajikan (manusiawi) yang terkandung dalam (misi) lahirnya sebuah pengaturan: moralitas dan etika.

Dasar etis adalah penghargaan kepada tertib bersama dan usaha-usaha bersama mewujudkan tertib itu di berbagai arena hidup dan kesempatan. Perlu ditekankan di sini soal kesempatan karena dalam banyak hal kita cenderung lalai menggunakan kesempatan yang kita punyai untuk menegakkan “tertib hidup” itu dalam ukuran sehari-hari dan di ruang-ruang hidup yang kita lakoni secara rutin.

Di jalan-jalan raya dan di tempat-tempat kerja dan organisasi-organisasi kita, “tertib hidup” hendaklah menjadi pegangan agar kepungan sengketa dalam bernalar dan dalam berhubungan tidak semakin menjalar. Kebiasaan membahasakan harapan tidaklah harus ditimpali dengan nada-nada angkuh dan sok mengatur.

Kebiasaan menutup-nutupi kegagapan dan kegagalan tidaklah harus dibenci dengan bahasa apatisme dan apologia, melainkan dengan dialog dan keterbukaan. Tak ada kepongahan yang bisa bertahan dengan penyumbatan atau penutupan –dengan kuasa dan bahasa apa pun–. Ia akan meledak melalui celah-celah kesadaran yang tumbuh dari dalam (jiwa) masyarakat itu sendiri.

Pertentangan dengan mudah diciptakan, ditiru, ditebalkan, dan disirkulasi. Terlalu banyak sebab, urusan dan media yang memicu perangai sengketa. Terpecahnya banyak kepentingan material, citra dan status, serta tindakan-tindakan “antisipasi politis” –secara langsung– telah membentuk (struktur) bernalar dan bertindak kita. Keadaan di sekitar cenderung kita baca menurut “peta kepentingan” yang sudah kita bangun sekian lama.

Memang, tak semuanya bisa dengan mudah disadari, karena gejala sengketa ini bermula dari pecahnya orientasi (diri) yang kita tempa sendiri dan salurkan perjalanannya menurut (bayangan) riwayat hidup kita. Setiap kita mempunyai bayangan diri seperti itu. Masalahnya adalah karena bayangan itu demikian mudah dicemari oleh pecahan-pecahan nalar, moral dan rujukan pengalaman yang tidak seluruhnya mampu kita kendalikan.

Pengalaman kita hari-hari ini begitu mudah didikte oleh orang lain. Fasilitas publik –demikian bebas– diborong oleh perorangan yang begitu besar hasratnya untuk terus-terusan bertengger di ruang kuasa. Rasa malu sudah diparkir. Keteladanan bisa dipoles dan dipoles setiap periode Pemilu/Pilkada, kendati jejak-jejak digital menyisakan nista dan dusta di mana-mana. Di banyak lokasi, seenaknya saja pohon-pohon, tiang-tiang, sudut-sudut jalan, dan ruang-ruang publik disesaki dengan “sogokan” citra diri yang artifisial oleh kawanan baliho-baliho serampangan dari “Sang Aku…dan Sang Aku…” Dia dan dia lagi…

Percampuran kesadaran dan ketidaksadaran, antara keaslian dan keterasingan, serta orientasi diri dan artikulasi organisasi, adalah keadaan yang menyertai pola bahasa dan pola kerja kita sejauh ini. Meski banyak ruang yang berperan mengatur, bahkan memberi kita nasehat dan tuntunan, tapi hilangnya kontrol kita terhadap gempuran informasi sepihak dari organisasi dan orang-orang yang lihai merayakan kepalsuan, semakin cerdik “melumpuhkan” visi bersama kita.

Ketika semua menjadi tontonan dan kita pun tergoda untuk di-tonton, maka kita tidak lagi tegas mengurai kedirian kita yang sebenarnya. Meski berusaha mengatakan “tidak kepada sengketa” yang bersifat publik dan/atau lintas individu, tapi diam-diam kita telah mewujudkan sengketa jenis lain bernama desas-desus, persangkaan, dan perkawanan yang saling mengintai. Kita sangat potensial menjadi masyarakat yang makin terbiasa berdesas-desus, waswas dan saling curiga. ***

 

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
E-mail: basriamin@gmail.com

Comment