Pemilu dan Pemimpin yang “Biasa-Biasa” Saja

Oleh :
Basri Amin

Pemilu selalu terlihat repot dan rumit. Padahal, dalam banyak keadaan, Pemilu (cenderung) lebih melicinkan jalan bagi membesarnya ke-tokoh-an yang itu-itu saja. Mereka tak menampilkan gagasan istimewa dan kerja-kerja hebat di alam nyata yang menyebar menyentuh golongan bawah dan kelompok produktif di masyarakat.

Pemilu terlalu mahal dan menguras energi. Sejauh ini, kuat terkesan bahwa Pemilu di negeri ini terlalu diurus dan dikerjakan “berlebihan” sisi-sisi teknis-nya tetapi kehilangan daya jangkaunya kepada penguatan nilai-nilai utama dan perbaikan-perbaikan mendasar di masyarakat. Pemilu yang mahal sewajarnya mampu melahirkan pemimpin hebat yang dipandang dunia dan membawa perubahan bagi pencerdasan bangsa dan keadilan sosial bagi semua wilayah, kelompok, dan golongan masyarakat.

Adalah juga terkesan kuat bahwa Pemilu di negeri ini lebih banyak memelihara atau membesarkan “orang-orang yang itu-itu saja!”. Tokoh-tokoh di masyarakat sepertinya dimanjakan untuk terbiasa “antri” mencocok-cocokkan jejak-diri dan jejak-perannya (melalui) mekanisme Pemilu. Padahal, tersurat atau tersirat, ada kepentingan status, citra sosial, jejaring kelompok, dan akumulasi materi (baca: harta/uang) melalui kesempatan (politik) di Pemilu: gaji besar, fasilitas berlanjut, mobilitas (gaya hidup) nyaman, memapankan kawanan sendiri, dst.

Regenerasi (politik) nyaris tak terjadi melalui Pemilu. Kekuatan dan reputasi “generasi pembaru” terseok-seok mencari dukungan materi dan dukungan di kalangan bawah. Gagasan jernih, refleksi faktual, dan kritisisme mereka tidak memantulkan apa-apa di “kotak suara” karena mereka terjegal oleh rombongan elite (lokal/nasional) yang mapan jaringan kerja, pencitraan publik, dan sebaran pengaruh materi-nya. Mereka, sesungguhnya, adalah elite yang sudah lama keenakan dengan “aspirasi palsu” dari masyarakat, tetapi selalu lihai mendayagunakan “sekian persen” saja dari keuntungan material pribadinya (melalui) kerja-kerja politik, gaji/tunjangan, akses kebijakan, dan fasilitas (negara) yang mengatas-namankan “kerja untuk publik”.

Negeri ini tidak mungkin berdaya-saing jika pemimpinnya berkemampuan alakadarnya. Di berbagai tingkatan, kecenderungan untuk “memberi ruang” bagi para oportunis, penjilat jabatan, dan pecundang cita-cita sepertinya masih terus dibuka. Nyaris belum terbentuk massa kritis yang memiliki daya tahan menolak gejala seperti ini.

Nalar kolektif yang mendeteksi tabiat-tabiat kelompok dan perorangan yang inginnya hanya menikmati kesenangan sepihak di arena kekuasaan pun belum begitu tampak. Keadaan ini sangat jelas akan memberi dampak berupa hilangnya perdebatan dan daya tawar masyarakat dalam memastikan nasibnya, terutama nasib dalam arti yang sangat nyata: layanan dasar buat mereka dan ruang publik yang otonom.

Kelas menengah, yang sering dilabeli sebagai kelompok yang relatif terdidik dan mempunyai sumberdaya organisasi, serta dianggap memiliki daya tawar karena nalar masyarakat sipil-nya, tampaknya (masih) terjebak dengan ritual mereka sendiri. Tak jarang mereka membentuk kerumunan organisasional dan virtual yang tanpa arah. Atau, mereka lebih sering memilih budaya “mengapung” di antara kekuatan-kekuatan (ekonomi/politik) yang ada, sambil memproduksi gaya dan wacana yang sok kritis dan sok moral, padahal mereka tak pernah merdeka dari pola “permainan” elite-elite di sekitarnya. Mereka, kelas menengah-yang pecundang ini, beroleh manfaat berlapis karena cerdik “nempel” kepada sejumlah tokoh yang terlanjur besar (birahi) kuasa-nya di sektor-sektor pemerintahan dan politik.

Dengan pengetahuan teknis yang sedang-sedang saja, kelas-menengah yang hipokrit selalu berhasil “menggoda”, tampak otentik “menyodorkan” dan cerdas “melaporkan” kerja-kerja teknis-nya yang artifisial kepada elite lokal/regional yang memang sejak awal tak punya komitmen tinggi dan integritas besar menjadi pembaru kemajuan yang sebenarnya. Sebagai hasilnya, keadaan kita di alam nyata lebih banyak dimanipulasi oleh pemberitaan sepihak yang tidak teruji secara faktual dan tidak berdampak-besar bagi kemakmuran yang berkelanjutan. Pemberitaan media yang distortif kemudian dilapisi oleh citra baik melaui acara demi acara. Sambut-menyambut dan saling memuji. Selebrasi foto dan parade pemberitaan!

Pemimpin masa depan haruslah memahami postur-postur pergaulan lintas kelompok dan bagaimana komposisi setiap profesi produktif di masyarakat.

Dari sanalah beragam kepentingan dan ketimpangan kelompok dihayati, selanjutnya kebajikan bersama (publik) disusun dan perjuangkan. Memang, tak mungkin semua bisa terterima semua pihak, tapi yang terpenting adalah negosiasi yang konsisten mendorong perbaikan.

Di banyak arena perbaikan, yang dibutuhkan bukanlah kuasa tunggal melainkan “pembagian” kekuasaan dalam aksi nyata di sektor-sektor yang beragam. Jika ini visi kita, berikutnya yang jadi pegangan bersama adalah sikap sadar bahwa “semua orang adalah penting. Semua kelompok adalah penentu perbaikan”. Bagaimana bentuknya? Sangat ditentukan oleh alam nyata yang konsisten kita gerakkan.

Belakangan ini isu nasional terlalu banyak yang mengepung percakapan kita. Ini perlu dicermati agar tidak “menutupi” isu besar yang di tingkat lokal/regional. Saya percaya bahwa ketajaman kita melihat kondisi lokal belum sepenuhnya memadai.

Terlalu banyak data atau informasi yang kabur di tingkat lokal. Kita punya tabiat untuk tidak sabar dan sungguh-sungguh bernalar terhadap banyak kasus lokal, baik yang sifatnya laten maupun yang sifatnya rutin. Kita masih terbiasa untuk abai dengan perkara-perkara kecil, padahal di balik itu semua menggambarkan “ledakan” serius dalam jangka panjang.

Jangan menutup mata!

Konflik lahan, tata-kelola sumberdaya alam, hubungan antar kelompok, ketimpangan pendapatan dan pembangunan infrastruktur, bencana, kebocoran anggaran, dst semuanya potensial berujung kepada konflik dan kemiskinan. Jika kita cermati beberapa tahun terakhir ini, tingkat konflik di masyarakat kita makin membesar dan meluas. Belum lagi dengan gempuran perilaku menyimpang dan kebebasan yang makin liar. Mudah menyaksikannya: di jalan raya, di perkampungan, di sudut-sudut perkotaan dan di permukiman-permukiman kita.

Empati yang sungguh-sungguh hendaknya menggerakkan nalar kita. Banyak kebijakan publik yang tidak jelas ujung-pangkalnya sesungguhnya bersumber dari peristiwa-peristiwa kecil yang diabaikan sejak awal. Kepekaan kita kempes, sementara nafsu untuk tampil di ruang publik terlalu bersamangat. Paradoks besar terletak dalam kecenderungan ini.

Krusialnya, regulasi yang memihak kepada “nalar publik” yang sehat mudah dipatahkan dengan “order” kalangan atas dan kelompok kepentingan. Mereka bahkan secara bebas menggunakan ruang publik dengan dasar-dasar etis yang semakin kabur. Lihatlah, di banyak tempat, orang bisa mematok ruang dengan bebas, sama persis dengan  nafsu memasang baliho dengan seenaknya saja.

Terkesan kuat, “hak publik” yang hendak menikmati kenormalan (hidup) kesehariannya, bahkan rasa hening yang lebih teduh dalam melakoni rutinitas yang sejuk, begitu mudah “diserang” oleh jargon-jargon dan baliho yang isinya hanya kekuasaan dan “potret puji diri”. Nurani dan nalar publik nyaris tak terlindungi!

Ruang publik dengan remeh dimainkan dan dilucuti otonominya. Padahal, ruang publik mestinya memihak kepada nalar publik itu sendiri. Faktanya, ia demikian mudah dibuat gaduh oleh peroangan yang punya modal dan kuasa. Ruang publik bahkan terkesan “dijual” untuk dipakai siapa saja yang mampu membelinya.

Dalam hal ini, negara bisa dikatakan ikut menjadi “penjual” ruang publik, sejauh itu berhubungan dengan urusan pendapatan atau pajak misalnya. Yang sulit dipisahkan adalah bagaimana ukuran yang tepat agar negara memastikan penggunaan ruang publik itu tidak menodai nilai-nilai (virtues) publik itu sendiri.

Apakah setiap perempatan jalan, tempat keramain dan titik dimana ‘pemandangan’ yang terbuka bisa diborong oleh baliho? Siapa yang bisa memastikan bahwa “mata publik” memang membutuhkan atau meminta “kampanye” seperti itu. Bisa jadi, nafsu sepihak untuk “ditonton” adalah yang lebih mengemuka daripada kepentingan publik.

Kalau kita cermati, terlalu banyak isu dan tema yang sebenarnya tidak perlu di-show kan di hadapan mata kita. Hal-hal rutin dan biasa-biasa saja justru tidak bisa dikategorikan sebagai public campaign. Meski demikian, karena mungkin tak ada maksud untuk ngotot menguasai ruang publik, maka sudah patutlah kiranya diatur dengan cara-cara yang lebih elegan, mendidik dan estetik.

Di negara-negara yang maju, publik tak lagi dipandang pasif. Publik tak bisa diremehkan hak-haknya untuk menikmati ruang publik yang lebih otonom, sejuk, hijau dan cerdas. Publik adalah warga yang menyadari haknya dan berdaya menikmati dan menuntut hak-haknya di hadapan negara (state). Jembatan di antara keduanya adalah regulasi dan organisasi. Di ruang itulah otonomi dan partisipasi dibela dan dirayakan, sebagai bentuk kematangan sebuah masyarakat, sekaligus menjadi tonggak pencapaian peradaban sebuah bangsa.

Daerah-daerah sangat berpotensi membangun keadabannya dengan menata ruang publiknya. Sudah tentu, niat baik ini hendaknya dibarengi dengan penguatan nalar dan nurani publik sebagai pilar utama keadaban itu. Dengan demikian, norma-norma dasar tidak sekadar menjadi retorika yang dimunculkan ketika kita menegaskan identitas (lokal) yang kita punyai.

Jargon demi jargon berhamburan setiap saat tapi kita makin lemas dalam penghayatan dan pengaturan. Kita sulit menemukan orang-orang yang otentik karena diam-diam kita membangun sistem kerja yang lebih memihak kepada mentalitas hipokrit. Tengoklah kiri-kanan, apa yang terjadi? Adakah keadaban di ruang publik kita?. ***

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu
Surel: basriamin@gmail.com

Comment