Sulawesi di Lintasan Niaga

Oleh

Basri Amin

Pelayaran bebas dan tentu saja arus perniagaan, yang datang dari luar kawasan ini hanya bisa memasuki laut Sulawesi melalui tiga arah. Dari arah utara, bisa bermula dari Laut China Selatan, melewati Laut Sulu, selanjutnya harus melewati beberapa alur pelayaran di sela-sela kepulauan Sulu. Dari jalur timur, pelayaran yang datang dari kepulauan Maluku dan Pasifik akan melewati kepulauan Sangihe-Talaud. Terakhir, dari jalur barat-daya, peran Selat Makassar adalah jalur tunggal yang menyambungkan Laut Flores dan Laut Jawa dengan Laut Sulawesi (Lapian, 2009).

Bagi Gorontalo, Kwandang jelas sangat strategis di pantai Utara Gorontalo. Ia terhubung sepanjang jalur pantai yang juga menopang mobilitas komoditi di bagian utara, yaitu dengan Boroko, Kaidipang, Bolaang Itang. Jika diurut dari Timur ke Barat, pelabuhan-pelabuhan utama di kawasan ini adalah Amurang, Inobonto, Labuan Boroko, Kaidipang, Kwandang, Buol dan Toli-Toli. Sejalur dengan itu, penting dicatat adalah pelabuhan Buol karena di wilayah ini terdapat penggalian emas, bahkan tetap aktif hingga awal abad ke-20 (Lapian, 2009: 47-48). Pantai adalah titik temu niaga yang dinamis, meski dalam kasus-kasus lain dinamika jaringan dan muara sungai dan pelabuhan pantai dan laut merupakan ruang yang dominan diceritakan dalam sejarah, sebagaimana terjadi pada umumnya di Asia Tenggara (Kathirithamby-Wells & Villiers, 1990).

Di Teluk Tomini, kedudukan perdagangan lintas pulau sangat jelas merupakan karakter utamanya. Terdapat sejumlah pelabuhan yang menjadi basis interaksi ekonomi, baik sebelum kedatangan Barat maupun setelah periode pasca monopoli perdagangan dan pelayaran oleh Belanda dan Inggris, serta Jepang. Melalui jalur niaga dan pelayaran itu pula kompetisi di antara kekuatan “perahu layar” (Bugis, Mandar, Makassar, Maluku) dan ekspansi “kapal uap” (Eropa) terjadi secara terbuka di akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, sekaligus masih membenarkan kelanjutan dari “perebutan samudera” di Laut Sulawesi sebagaimana disimpulkan oleh Andri Lapian (1984). Pada periode berikutnya, terutama pada era 1930an, membawa cakrawala baru bagi perlintasan (komoditi) dari Indonesia dan arus impor dari luar negeri dalam percaturan ekonomi dunia, khususnya di Asia Pasifik (Ratulangie, 1984).

Secara khusus, kedudukan pelabuhan Gorontalo sejak abad ke-19 telah diberi perhatian mendalam oleh Hasanuddin (2014) yang berhasil mengidentifikasi sejumlah armada Eropa dan bagaimana persinggungannya dengan kekuatan “perahu layar” yang sama-sama membangun divisi ekonomi yang ekspansif, baik dalam arti kedalam —pembelian hasil-hasil tambang, laut, perkebunan dan kehutanan–, maupun dalam arti keluar —berupa kegiatan suplai kebutuhan-kebutuhan lokal yang harus diimpor dari negara-negara lain, atau dari pulau Jawa–.

Sejak 1850an, sejumlah konsesi dagang menjadi tema sentral ekonomi kolonial yang menempatkan kawasan ini sebagai pusat monopolinya, terutama melalui jalur-jalur perjanjian resmi dengan penguasa-penguasa lokal (raja), di mana sistem pajak menjadi semakin dominan, demikian pula dengan bentuk-bentuk aliansi regionalnya untuk hampir semua komoditi utama yang disasar oleh Belanda, terutama di masa VOC dan di periode berikutnya di masa “pemerintahan langsung” (Juwono & Hutagalung, 2005; Hasanuddin, 2014).

Dinamisme ekonomi Gorontalo di abad ke-19, sebagaimana hal serupa dialami oleh banyak kawasan lain di Indonesia Timur yang tersambungkan sekian abad sebagai “kawasan rempah”, tidak bisa sepenuhnya dimengerti berdasarkan gambaran tunggal dengan hanya melihat monopoli dan penguasaan semata. Kekuatan jaringan niaga Arab dan China sangat jelas “bermain” sangat lincah di antara kekuatan-kekuatan tersebut, termasuk di antaranya yang mempunyai reputasi penguasaan jalur niaga untuk komoditas tertentu, seperti damar, rotan, tekstil, beras, kayu-kayuan, minyak, hasil laut, dst.

Khusus untuk emas, logam dan hasil laut, pelaut Mandar adalah “pemain utama” di Teluk Tomini dan memiliki reputasi dagang, ekspansi wilayah di beberapa pulau dan penguasaan navigasi pelayaran yang terkenal sampai di Maluku (Karim, 2018; Hasanuddin, 2016). Penting pula digarisbawahi bahwa di masa itu, “budak” dan “senjata api” adalah juga sebagai barang dagangan (Henley, 2002; Juwono & Hutagalung, 2005).

Di jalur Sulawesi dan Maluku, pedagang Arab pada periode 1859-1915 sangat jelas membangun jaringannya sendiri yang kokoh, istimewa dan berpengaruh di sejumlah titik-titik produksi utama di beberapa kota pelabuhan dan pulau-pulau tertentu. Bahkan kedudukan komunitas Arab semakin mapan ketika otoritas kolonial memberi legalitas tertentu kepada mereka, baik di pasar pelayaran, pengumpulan/pembelian komoditi serta jalur-jalur pelayaran yang (terlanjur) memiliki ikatan lokal tertentu –-lebih sering karena koneksi Hadrami melalui jalur perkawinan—dan/atau sebuah keterterimaan karena sudah terbentuk “pemukiman Arab”.

Gejala historis seperti ini sangat terlihat perannya di beberapa kota pelabuhan sejak pertengahan abad ke-19, misalnya di Gorontalo, Manado, Ternate dan Ambon. Legitimasi itu terwujud dengan lahirnya posisi “Lieutenant Arab” di hampir semua kota niaga di Nusantara (Clarence-Smith, 1998; Bahafdullah, 2010; Jonge, 2019). Oleh Huub de Jonge (2019) misalnya dinyatakan bahwa “Kampung Arab” di Manado dan Gorontalo mulai berdiri pada tahun 1894. Data ini sejalan dengan terbentuknya “Lieutenant Arab” pada tahun 1895 di Manado (Sayid Mansur bin Abdullah Al Hasni, 29 Februari 1895); di Gorontalo, Sayid Syeikh bin Husni Al Hasni, 1899-1908) dan di Ternate (Sayid Muhsin bin Muhammad Al Bar, 3 Oktober 1890). Data ini merujuk kajian Bahafdullah (2010: 188-190).

Koneksi regional ini terbukti berpengaruh penting ketika pandemic menyerang Gorontalo secara berulang pada periode yang panjang (1833-1869). Ketika itu, perdagangan makanan atau kebutuhan pokok (beras) merupakan kebutuhan terpenting, sekalipun daya beli masyarakat dalam kondisi sangat lemah. Di sisi lain, kebijakan (pemerintah) kolonial Belanda relatif menolong di masa-masa sulit. Ketika guncangan (ketersediaan) makanan kembali memuncak di Gorontalo, biasanya karena faktor kekeringan atau gagal panen, tercatat misalnya pada periode 1883-1886, kebijakan pemerintah memberlakukan beras diimpor dari Minahasa, Makassar, Bali atau Saigon, sementara sagu didatangkan dari Pulau Togean (Henley, 2005).

Perhatian pemerintah kolonial Belanda di kawasan Teluk Tomini makin terlihat sejak tahun 1893. Pengawasan dilangsungkan lebih intensif. Ini berlaku sejak dari Moutong sampai di Tojo. Sejumlah penguasaan usaha-usaha dagang dilakukan untuk mengontrol sirkulasi komoditi di kawasan ini. Secara internal, sejumlah kerajaan kecil di Teluk Tomini kemudian membentuk “federasi” di mana posisi Moutong menjadi pusatnya. Di masa itu, posisi penguasaan pelaut-peniaga Mandar sangat fenomenal di Teluk Tomini. Mereka bahkan mempunyai koloni sendiri yang cukup luas. Karena itulah maka di tahun yang sama (1893), didirkan pula pos pengawas (polisi) yang ditempatkan di Parigi (DeKlreck, 1975: 460).

Interaksi lintas etnis yang lebih intensif di Teluk Tomini sepanjang abad ke-19 sampai abad ke-20 telah dicatat oleh Ulaen (2005) dengan menunjukkan bagaimana pola migrasi di beberapa pulau utama di Teluk Tomini membentuk relasi-relasi baru antara “pendatang” dan “warga lokal”, baik di perkotaan maupun di wilayah perdesaan. Di luar itu, komposisi penduduk yang makin majemuk dan perubahan pola ekonomi pun menjadi lebih dinamis. Sebagaimana dikaji oleh Ulaen (2005), etnisitas (penduduk) di Teluk Tomini ditandai dengan keragaman bahasa lokal yang tersebar di hampir semua pulau yang berpenghuni. Kelompok etnis di Teluk Tomini tidak kurang dari 26 komunitas dengan varian lokasi dan bahasanya masing-masing. Di saat yang sama kehadiran kelompok etnis lain juga beroleh legitimasi sosial yang tinggi mengingat peran-peran mereka di sektor perdagangan, pemerintahan dan pendidikan. ***

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu;

Surel: basriamin@gmail.com

Comment